background

Friday, April 10, 2015

Arab Sebelum Islam

1.  Letak Geografis Jazirah Arab dan Pembagian Penduduknya
Jazirah dalam bahasa Arab berarti Pulau, jadi Jazirah Arab berarti Pulau Arab. Oleh bangsa Arab tanah air mereka disebut Jazirah. Sebagian ahli sejarah menamai tanah Arab sebagai Shibhul Jazirah.[1] Dalam bahasa Indonesia berarti Semenanjung.
Kalau diperhatikan, Jazirah Arab itu berbentuk empat persegi panjang yang sisi-sinya tidak sejajar. Disebelah barat berbatasan dengan Laut Merah, disebelah selatan dengan Lautan Hindia, disebelah Timur dengan Teluk Arab (dulu disebut Teluk Persia) dan disebelah Utara dengan Gurun Irak dan Gurun Syam (Gurun Syiria). Panjangnya 1000 km lebih, dan lebarnya kira-kira 1000 km.[2]
Bila salah seorang dari warganya atau dari pengikut-pengikutnya dianiaya orang atau dilanggar haknya, maka menjadi kewajiban atas kabilah atau suku itu untuk membela. Oleh karena itu, sering kali terjadi peperangan antar suku. Tak jarang, peperangan tersebut berlanjut hingga keturunan selanjutnya.
Dilihat dari silsilah keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi penduduk bangsa Arab menjadi dua bagian,[3] yaitu :
  • Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit karena kaum ini telah musnah. Diantara orang Arab yang termasuk Arab Baidah yaitu ‘Aad, Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab ar-Rass, dan penduduk Madyan.
Adapun nabi-nabi Allah ang diutus untuk kaum Arab Baidah, yaitu: 
  • Nabi Hud as. 
  • Nabi Shaleh as. 
  • Nabi Syu’aib as.[4]
  • Arab Baqiyah yaitu orang Arab yang hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qahthan dan Bani Adnan. Bani Qahthan adalah Arab Aribah (orang Arab asli) dan tempat mereka adalah di selatan Jazirah Arab. Sedangkan Bani Adnan adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sbagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian Utara, dan tempat tinggal mereka adalah Mekkah al-Mukarramah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim.[5]
2. Kondisi Masyarakat
Dikalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat. Yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita.[7]
Begitulah gambaran secara ringkas kelas masyarakat bangsawan, sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita.
Para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.[8]
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran,[9] seperti:
  • Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula. 
  • Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita pelacur. 
  • Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik. 
  • Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah ialah poligami tanpa ada batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya.
Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Secara garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh.[10]
3. Kondisi Politik Arab Sebelum Islam
Orang-orang Arab terdiri dari orang-orang pedalaman dan perkotaan. Pemikiran politik orang-orang yang berada di pedalaman tentu saja sangat berbeda dengan orang-orang yang berada diperkotaan.[11]
Bangsa Arab sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.[12]
Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Banyak hak yang terabaikan. Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih dan mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun.[13]
4. Kondisi Ekonomi Bangsa Arab sebelum Islam
Sumber ekonomi utama yang menjadi penghasilan orang Arab adalah perdagangan dan bisnis. Orang-orang Arab di masa jahiliyah sangat dikenal dengan bisnis dan perdagangannya. Perdagangan menjadi darah daging orang-orang Quraisy.[14] Sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an,
Artinya: “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.” (QS. Quraisy: 1-2)[15]
Mereka melakukan perjalanan bisnis ke Yaman pada musim dingin dan perjalanan bisnis ke Syam pada musim panas.
5.  Kepercayaan Bangsa Arab sebelum Islam
Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-Salam, yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.[16]
Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amr Bin Luhay (Pemimpin Bani Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani.[17]
Kemudian Amr Bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam menyembah berhala. Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa HUBAL dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pun banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci.
Pada saat itu, ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan mereka ditempat-tempat tertentu,[18] seperti:
  1. Manat, mereka tempatkan di Musyallal ditepi Laut Merah dekat Quwait. 
  2. Lata, mereka tempatkan di Tha’if. 
  3. Uzza, mereka tempatkan di Wady Nakhlah.
Setelah itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim.
Selain itu, Orang-orang Arab juga mempercayai dengan pengundian nasib dengan anak panah dihadapan berhala Hubal. Mereka juga percaya kepada perkataan Peramal, Orang Pintar dan Ahli Nujum. Dikalangan mereka ada juga yang percaya dengan Ramalan Nasib Sial dengan sesuatu. Ada juga diantara mereka yang percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tentram jika dendamnya belum dibalaskan, ruh nya bisa menjadi burung hantu yang berterbangan di padang seraya berkata,”Berilah aku minum, berilah aku minum!” jika dendamnya sudah dibalaskan, maka ruh nya akan menjadi tentram.[19]
Semua agama dan tradisi Bangsa Arab pada masa itu, keadaan para pemeluk dan masyarakatnya sama dengan keadaan orang-orang Musyrik. Musyrik hati, kepercayaan, tradisi dan kebiasaan mereka hampir serupa.



[1] Baca, Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana: 2003) hal... 11
[2] Ibid
[3] Ibid, hal.. 58
[4] Ibid, hal.. 59-62
[5] Baca, Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana: 2003) hal... 62-63
[6] Ibid, hal.. 63
[7] Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan (Yogyakarta: LKiS, 2003) hal.. 15
8] Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan (Yogyakarta: LKiS, 2003) hal..16
[9] Baca, Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana: 2003) hal... 73-14
[10] Baca, Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana: 2003) hal... 73
[11] Ibid.. hal.. 63
[12] Ibid
[13] Ibid, hal.. 64
[14] Baca, Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana: 2003) hal... 72
[15] Baca, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro, 2006)
[16] Baca, Muhammad Husayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996) hal.. 10
[17] Ibid
[18] Baca, Muhammad Husayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996) hal.. 11-12
[19] Ibid, hal.. 12

No comments:

Post a Comment