background

Saturday, March 19, 2016

Jarh wa Ta'dil

Sejarah Jarh wa Ta'dil Pada masa Nabi
Motif kritik pemberitaan hadist bercorak konfirmasi. Klarifikasi dan upaya memperoleh testimoni akhirnya menguji validitas keterpercayaan berita. Kritik bermotif konfirmasi, yakni upaya menjaga kebenaran dan keabsahan berita, antara lain terbaca pada kronologis kejadian yang diriwayatkan oleh abu Buraidhah tentang seorang pria yang tertolak pinangannya untuk mempersunting wanita Bani Laits.  
Kritik bermotif klarifikasi, yakni penyelarasan dan mencari penjelasan lebih kongkrit, kemudian motif kritik lain menyerupai upaya testmoni yakni mengusahakan kesaksian dan pembuktian atas sesuatu yang tersinyalir diperbuat oleh nabi SAW. Dan motif kritik pemberitaan (matan hadist) untuk tujuan esensi faktanya dilaksanakan dengan tekhnik investigasi (penyelidikan) dilokasi kejadian, bertemu langsung dengan subjek narasumber berita serta melibatkan peran aktif pribadi nabi atau rasul SAW. 
Sejarah Jarh wa ta'dil pada periode Sahabat

Proses transfer (pengoperan) informasi hadist dikalangan sesama sahabat nabi cukup berbekal kewaspadaan terhadap kadar akurasi pemberitaan. Kesalahan tidak disengaja, salah mempersepsi fakta, dan kekeliruan bentuk lain karena gangguan indra pengamatan adalah hal yang manusiawi. Faktor luar yang diduga memperbesar kelemahan tersebut adalah : Kelangkaan naskah penghimpun notasi hadist, kurang tersosialisasinya aktifitas pencatatan hadist.

Skala kesalahan dalam proses pemberitaan hadist pada periode sahabat cepat terlokalisir dan tereleminir, karena adanya tradisi saling menegur dan mengingatkan.

Tradisi kritik esensi matan hadist dilingkungan sahabat, selain menerapkan kaidah muqaronah  antar riwayat berlaku juga kaidah mu'aradah. Metode muqaronah merupakan perbandingan antar riwayat dari sesama sahabat. Sedangkan metode mu'arodah merupakan pencocokan konsep yang menjadi muatan pokok setiap matan hadist, agar tetap terpelihara keselarasan antar konsep dengan hadist lain dan dengan dalil syari'at yang lain.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa metode kritik hadist pada periode sahabat ditekankan pada objek esensi matan hadist, dengan kaidah muqaronah antar riwayat dan mu;arodah. Pasca kritik tidak muncul reaksi negatif, hanya sekedar tawaquf (sadar) menerima kenyataan atau menerima koreksi pemberitaan. Dengan demikian mekanisme kritik lebih didasarkan pada tujuan meluruskan pemberitaan yang mempertaruhkan nabi atu rasul dan mengkondisikan wawasan keislaman yang ta'at asas.
Sejarah Jarh wa ta'dil pada periode Muhaddisin

Fakta pemalsuan hadist-hadist palsu membangkitkan kesadaran muhaddisin  untuk melembagakan sanad sebagai alat kontrol periwayatan hadist sekaligus mencermati kecenderungan sikap keagamaan dan politik orang perorang yang menjadi mata rantai riwayat itu. Upaya mewaspadai hadist tersebut telah berlangsung pada periode kehidupan sahabat kecil, yakni mereka yang masih berada di tengah-tengah umat hingga sekitar tahun 70-80 Hijriah.

Dalam rangka mengimbangi pelembagaan sanad, maka lahirlah kegiatan Jarh ta'dil (mencermati kecacatan pribadi perawi dan keterpujiannya). Biodata pribadi periwayat hadist yang ditelusuri meliputi:

  1. Data kelahiran dan wafatnya,  
  2. Tempat tinggal, 
  3. Mobilitas dalam studi hadits 
  4. Nama guru dan murid yang diasuh
  5. Penilaian kritikus tentang integritas keagamaan atau indikasi tersangkut paham bid'ah
  6. Kadar ketahanan hapalan
  7. Bukti kepemilikan notasi hadits, dan;
  8. penetapan peringkat profesi kehaditsannya.  
Kegiatan Jarh ta'dil menurut pengamatan Al-Dzahabi (w.784 H) telah melibatkan 715 kritikus.[1]



[1] Baca, Drs. Haasjim Abbas, Kritik Matan Hadist ( Jogjakarta: Teras, 2004), hal: 22-35

No comments:

Post a Comment