1.
Letak Geografis Jazirah Arab dan Pembagian Penduduknya
Jazirah dalam bahasa Arab berarti Pulau, jadi
Jazirah Arab berarti Pulau Arab. Oleh
bangsa Arab tanah air mereka disebut Jazirah. Sebagian ahli sejarah menamai
tanah Arab sebagai Shibhul Jazirah.[1]
Dalam bahasa Indonesia berarti Semenanjung.
Kalau diperhatikan, Jazirah Arab itu berbentuk empat
persegi panjang yang sisi-sinya tidak sejajar. Disebelah barat berbatasan
dengan Laut Merah, disebelah selatan dengan Lautan Hindia, disebelah Timur
dengan Teluk Arab (dulu disebut Teluk Persia) dan disebelah Utara dengan Gurun
Irak dan Gurun Syam (Gurun Syiria). Panjangnya 1000 km lebih, dan lebarnya
kira-kira 1000 km.[2]
Bila salah seorang dari warganya atau dari
pengikut-pengikutnya dianiaya orang atau dilanggar haknya, maka menjadi kewajiban
atas kabilah atau suku itu untuk membela. Oleh karena itu, sering kali terjadi
peperangan antar suku. Tak jarang, peperangan tersebut berlanjut hingga
keturunan selanjutnya.
Dilihat
dari silsilah keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi penduduk bangsa
Arab menjadi dua bagian,[3]
yaitu :
- Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa dilacak secara rinci dan komplit karena kaum ini telah musnah. Diantara orang Arab yang termasuk Arab Baidah yaitu ‘Aad, Tsamud, Thasm, Jadis, Ashab ar-Rass, dan penduduk Madyan.
Adapun nabi-nabi Allah ang diutus untuk kaum Arab Baidah, yaitu:
- Nabi Hud as.
- Nabi Shaleh as.
- Nabi Syu’aib as.[4]
- Arab Baqiyah yaitu orang Arab yang hingga saat ini masih ada. Mereka adalah Bani Qahthan dan Bani Adnan. Bani Qahthan adalah Arab Aribah (orang Arab asli) dan tempat mereka adalah di selatan Jazirah Arab. Sedangkan Bani Adnan adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab yang mengambil bahasa Arab sbagai bahasa mereka. Mereka adalah orang-orang Arab bagian Utara, dan tempat tinggal mereka adalah Mekkah al-Mukarramah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim.[5]
2. Kondisi Masyarakat
Dikalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat. Yang kondisinya
berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan
bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun
harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin
dipuji dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaan dan
keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita.[7]
Begitulah gambaran secara ringkas kelas
masyarakat bangsawan, sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan
mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita.
Para wanita dan
laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun
tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima
orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan
mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib
yang mengotori keturunan.[8]
Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar
kewajaran,[9]
seperti:
- Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.
- Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita pelacur.
- Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.
- Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.
Banyak
lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar
kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah
ialah poligami tanpa ada batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang
dikehendaki. Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena
dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki
tanpa ada batasannya.
Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Secara garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh.[10]
Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Secara garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh.[10]
3. Kondisi Politik Arab Sebelum Islam
Orang-orang Arab terdiri dari orang-orang pedalaman dan
perkotaan. Pemikiran politik orang-orang yang berada di pedalaman tentu saja
sangat berbeda dengan orang-orang yang berada diperkotaan.[11]
Bangsa Arab sebelum islam, hidup bersuku-suku
(kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang
saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada
mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian
darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka,
sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka
seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong
saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.[12]
Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah sistem diktator. Banyak hak yang terabaikan. Rakyat bisa
diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan
pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk
foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan
kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan
dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih dan
mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa
mengadakan perlawanan sedikitpun.[13]
4. Kondisi
Ekonomi Bangsa Arab sebelum Islam
Sumber
ekonomi utama yang menjadi penghasilan orang Arab adalah perdagangan dan
bisnis. Orang-orang Arab di masa jahiliyah sangat dikenal dengan bisnis dan
perdagangannya. Perdagangan menjadi darah daging orang-orang Quraisy.[14]
Sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam Al-Qur’an,
Artinya: “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka
bepergian pada musim dingin dan musim panas.” (QS. Quraisy: 1-2)[15]
Mereka melakukan
perjalanan bisnis ke Yaman pada musim dingin dan perjalanan bisnis ke Syam pada
musim panas.
5. Kepercayaan Bangsa Arab sebelum Islam
Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas
mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-Salam, yaitu menyeru kepada agama
bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru menyembah Allah,
mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.[16]
Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara
mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Sekalipun
begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga
muncul Amr Bin Luhay (Pemimpin
Bani Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan
shadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang
mencintainya dan hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai ulama besar dan
wali yang disegani.[17]
Kemudian Amr Bin Luhay mengadakan
perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam menyembah berhala. Ia
menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sebab menurutnya, Syam
adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa HUBAL
dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk
membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pun banyak yang mengikuti
penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk
tanah suci.
Pada saat itu, ada tiga berhala yang paling besar yang
ditempatkan mereka ditempat-tempat tertentu,[18]
seperti:
- Manat, mereka tempatkan di Musyallal ditepi Laut Merah dekat Quwait.
- Lata, mereka tempatkan di Tha’if.
- Uzza, mereka tempatkan di Wady Nakhlah.
Setelah
itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil
bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang menjadi fenomena terbesar dari
kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap dirinya berada pada
agama Ibrahim.
Selain
itu, Orang-orang Arab juga mempercayai dengan pengundian nasib dengan anak
panah dihadapan berhala Hubal. Mereka juga percaya kepada perkataan Peramal,
Orang Pintar dan Ahli Nujum. Dikalangan mereka ada juga yang percaya dengan
Ramalan Nasib Sial dengan sesuatu. Ada juga diantara mereka yang percaya
bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tentram jika dendamnya belum
dibalaskan, ruh nya bisa menjadi burung hantu yang berterbangan di padang
seraya berkata,”Berilah aku minum,
berilah aku minum!” jika dendamnya sudah dibalaskan, maka ruh nya akan
menjadi tentram.[19]
Semua
agama dan tradisi Bangsa Arab pada masa itu, keadaan para pemeluk dan
masyarakatnya sama dengan keadaan orang-orang Musyrik. Musyrik hati,
kepercayaan, tradisi dan kebiasaan mereka hampir serupa.
[1] Baca,
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam
(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana: 2003) hal... 11
[2] Ibid
[3] Ibid,
hal.. 58
[4] Ibid,
hal.. 59-62
[5] Baca,
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam
(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana: 2003) hal... 62-63
[6] Ibid,
hal.. 63
[7]
Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan
(Yogyakarta: LKiS, 2003) hal.. 15
8] Khalil Abdul Karim, Syari’ah:
Sejarah, Perkelahian, Pemaknaan (Yogyakarta: LKiS, 2003) hal..16
[9] Baca,
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam
(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana: 2003) hal... 73-14
[10] Baca,
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam
(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana: 2003) hal... 73
[11] Ibid..
hal.. 63
[12] Ibid
[13] Ibid,
hal.. 64
[14] Baca,
Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam
(Jakarta: Akbar Media Eka Sarana: 2003) hal... 72
[15] Baca, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung:
Diponegoro, 2006)
[16] Baca, Muhammad Husayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera
AntarNusa, 1996) hal.. 10
[17] Ibid
[18] Baca, Muhammad Husayn Haykal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera
AntarNusa, 1996) hal.. 11-12
[19] Ibid,
hal.. 12