1.
Pengertian
Sistem Otoriter, Liberal dan Pancasila
Sistem
otoriter dan liberal pada praktiknya pernah diberlakukan di Indonesia. Sistem
otoriter adalah rezim politik yang ditandai dengan pemusatan kekuatan/kekuasaan
politik di tangan sekelompok kecil elit yang tidak memberikan
pertanggung-jawaban kepada masyarakat secara institusional.[1]
Sistem ini pernah berlaku di Indonesia ketika rezim Orde Baru masih berkuasa.
Ada
berbagai bentuk pemerintahan otoriter. Pemerintahan bisa dijalankan oleh militer
atau politisi sipil, dan kekuatan politik bisa dijalankan secara langsung oleh
individu atau melalui sebuah partai politik.[2]
Selain Indonesia, negara-negra yang pernah menjalankan sistem otoriter ini
adalah negara Jerman dan Rusia Stalin sejak tahun 1927 hingga 1953.
Sistem
otoriter ini memiliki ciri-ciri[3]
sebagai berikut:
a) Infrastruktur
dan fasilitas pemerintah dikendalikan secara terpusat.
b) Menganut
prinsip: “aturan datang dari seseorang bukan dari hukum”, “semua keputusan
politis ditentukan oleh satu pihak da berlangsung tertutup”, dan penggunaan
kekuasaan polik seolah olah tidak terbatas.
c) Tidak
ada jaminan kekebasan sipil apalagi toleransi.
d) Tidak
ada kebebasan untuk membentuk partai politik atau organisasi.
Selain
keempat ciri diatas, ciri yang paling khas dari sistem otoriter yaitu kekuasaan
politik yang tidak terbatas dimiliki oleh pemimpin atau partai yang berkuasa.
Sedangkan
sistem liberal yaitu sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan
tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan
persamaan hak adalah nilai politik yang utama.[4]
Ada 3 hal yang mendasar dari sistem ini yaitu kehidupan, kebeasan dan hak
milik.
Dalam
sistem liberal negara hanya menjadi alat, negara dianggap sebagai alat untuk
tujuan-tujuan yang lebih besar. Setiap individu memiliki hak maupun kesempatan
yang sama dalam mengeluarkan pendapat.namun dalam sistem ini, tidak dapat
menerima ajaran dogmatisme.[5]
Negara-negara
di dunia yang masih menganut paham liberal seperti di negara Amerika Serikat,
Australia, India, Jepang, Denmark, Belgia, Tunisia, Zambia, termasuk disini
negara Rusia dan Jerman yang telah berganti menjadi paham liberal.[6]
Sistem
atau paham Pancasila lebih dikenal oleh negara Asia, yaitu Indonesia. Indonesia
menganut sistem yang berdasarkan apada Pancasila. Sila pertama samapi sila
kelima merupakan paham atau ideologi bangsa yang masih diakui hingga saat ini.
Semua keputusan atau Undang-undang yang dibuat harus bersesuaian dengan
Pancasila.[7]
2.
Kekebasan
Informasi dilihat dari aspek Pancasila.
Jika
kita berbicara mengenai kebebasan informasi tidak pernah lepas dari kata Pers.
Di Indonesia, kita mengenal tiga periode yang pernah kita lewati hingga saat
ini. Periode sejarah tersebut meliputi: Orde
Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, dan saat ini kita telah memasuki zaman
reformasi.
Pada
zaman Orde lama dan Orde Baru, kebebasan pers tidak diakui sepenuhnya oleh
pemerintah. Insan pers selalu terkungkung oleh kebijakan pemerintah yaitu SIUPP
(Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sensor hingga pembredelan. Pers hanya
dianggap sebagai alat pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Tidak adanya
kebebasan masyarakat untuk mengetahui keadaan negaranya secara langsung. Pers
hanya boleh memberitakan hal-hal yang bertujuan menaikkan citra penguasa.
Namun,
ketika kita memasuki zaman reformasi, kebebasan pers mulai diakui dan
dilindungi oleh hukum. Hal ini membawa angin segar kepada para insan pers di
seluruh Indonesia. Selain membawa keuntungan kepada insan pers, tetapi juga
membawa keuntungan kepada khalayak ramai tentang kebenaran yang sudah sekian
lama disembunyikan oleh penguasa. Hal inilah yang menjadi salah satu keuntungan
dari kebebasan pers era reformasi.
Kebebasan
informasi jika dilihat dari aspek pancasila
dapat dinilai demokratis. Karna saat ini masyarakat telah bisa mengeluarkan
pendapat, berorganisasi maupun berkelompok. Bahkan kegiatan tersebut dijamin
oleh Undang-undang. Jaminan tersebut tidak hanya berlaku untuk masyarkat namun
juga insan Pers yang ada di Indonesia.
Jaminan
keamanan Insan pers di Indonesia dijamin dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang
kekebasan pers. Dalam undang-undang tersebut juga disebutkan peranan pers
nasional.[8]
Berkembangnya
kebebasan pers ternyata memunculkan dampak negatif, seperti terjadinya banyak
pelanggaran terhadap UU Pers maupun terhadap Kode Etik Jurnalistik oleh
kalangan pers sendiri (sebagian) maupun oleh masyarakat. Hal ini membuktikan,
baik kalangan pers maupun masyarakat pada hakikatnya belum siap secara kultural
maupun secara mental menerima kebebasan pers yang berbasis paham liberalisme.
Bentuk-bentuk
pelanggaran yang dilakukan pers pun beragam, antara lain dalam menetukan nilai
berita yan tidak tepat. Contohnya adalah kejadian-kejadian yang tidak memiliki
nilai berita yang luar biasa diberi
sifat luar biasa dengan menjadikannya headline
atau leads yang pilihan kata-katanya menegangkan. Banyak
juga terjadi rumus berita 5W dan 1H yang tidak tepat, pelanggaran terhadap Kode
Etik Jurnalistik dan cara memilih
kata-kata atau gaya bahasa, memelintir kata,
juga membesar-besarkan kejadian yang diliput.[9]
3. Kebebasan Informasi Dilihat Dari
Aspek Otoriter
Dalam
falsafah pers dikenal empat teori, yang salah satunya yaitu authoritarian
Theory (teori pers otoriter) yang diakui sebagai teori pers paling tua
berasal dari abad ke 16.[10]
Teori
ini berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolute, jadi pada
dasarnya pendekatan dilakukan dari atas ke bawah. Yang dimaksud dengan
pendekatan dari atas kebawah adalah pendekatan yang dilakukan oleh yang
berkuasa terhadap masyarakat biasa, yang mana pada keadaan ini masyarakat biasa
tidak dapat berbuat apapun, kebebasannya dirampas dan tidak bisa mengutarakan
aspirasinya. Jadi disini dimaksudkan pers harus mendukung kebijakan pemerintah
dan mengabdi kepada Negara.
Pemerintah
bebas melakukan intervensi terhadap pers, dan pers tidak berhak dan bahkan
tidak dapat untuk mengintervensi pemerintah dikarenakan pemerintah berkuasa
penuh atas pers. Yang penting dicatat juga prinsip authoritarian Theory (teori
pers otoriter) adalah bahwa Negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada
individu dalam skala nilai kehidupan sosial.[11]
Teori ini berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke
Rusia, Jerman, Jepang dan Negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin.
Dari
pemaparan diatas jelaslah bahwa authoritarian Theory (teori pers
otoriter) adalah bahwa pemerintah memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada
individu dalam skala nilai kehidupan sosial. Dalam hal ini kita dapat mengambil
contoh Negara kita sendiri Indonesia. Pers di Indonesia pada jaman pemerintahan
orde baru atau rezim Soeharto pers disaat itu adalah pers yang otoriter, pers tidak berhak untuk mengomentari
kebijakan presiden akan tetapi pers haruslah selalu mendukung kebijakan
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam masa itu pers sangat
tidak berkembang dan informasi yang disampaikan pun tidak trasparan dan tidak
dapat secara gamblang diketahui oleh masyarakat. Apabila pers melawan maka
pemerintah langsung akan bertindak.
Pers
yang bebas dan bertangggung jawab pada rezim orde baru tidaklah sama dengan
pers yang bebas dan bertangggung jawab seperti di Amerika Serikat diawali sejak
tahun 1956.
Sedangkan
contoh di negara Eropa yang menerapkan sistem pers otoriter yaitu kehidupan pers yang berkembang di
negara komunism. Pers di negara komunis dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah,
tidak ada kepemilikan oleh perorangan atau swasta. Pemerintah dan partai komunis menggunakan pers sebagai alat untuk
mencapai tujuan-tujuannya, yaitu sebagai instrumen yang terintegrasi dengan
kekuasaan pemerintah dan partai untuk kegiatan propaganda dan digital.[12]
Secara ringkas, fungsi pers dibekas
negara Uni Soviet (Rusia)[13]
adalah sebagai berikut:
a)
Pers
adalah sebagai propaganda, agitator, dan organisator kolektif.
b)
Pers
merupakan tempat pendidikan kader-kader komunis dikalangan massa.
c)
Pers
bertugas sebagai lembaga yang memobilitasi dan mengorganisir massa untuk
pengembangan ekonomi.
d)
Pers
menerapkan dan meyiapkan semua dekrit, keputusan, instruksi yang dikeluarkan
oleh Komite Sentral Partai maupun oleh Pemerintahan Rusia serta bahan publikasi
lain dari pemerintahan.
Sesuai dengan fungsi dan peranan
pers di Rusia, mereka tidak mementingkan
pemberitaan, karena badan sensor tidak akan memberikan izin untuk memberitakan
kejadian-kejadian penting yang tidak dikehendaki, serta menghindari pemberitaan-pemberitaan
tentang hak asasi manusia.[14]
4. Kebebasan Informasi Dilihat Dari
Aspek Liberal
Negara
yang menganut ideologi liberal memang paling banyak memberikan landasan
kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Kita juga tahu bahwa paham liberalisme
semakin merajalela di berbagai Negara dibelahan dunia. Dan tampaknya
keberhasilan sistem liberal di Amerika Serikat yang notabene merupakan negara
maju yang mampu menyedot perhatian khalayak dunia akan pentingnya menengok
suatu ideologi yang mendasari sebuah kebebasan sebagai nilai luhur politik yang
utama.
Yang
perlu kita pahami pertama kali adalah bagaimana sebenarnya teori dari ideologi
ini, dimana ideologi ini mencita-citakan sebuah masyarakat yang bebas dalam
artian sistem pemerintahan bisa dikatakan transparan dan mendukung serta
menolak adanya pembatasan hak indiviu. Dan fenomena yang sekarang terjadi di
masyarakat modern, liberalisme sangat mudah tumbuh dinegara yang menganut
sistem demokrasi.
Sesuatu
yang lazim kita temukan di Negara demokrasi besar seperti Amerika Serikat,
kebebasan dijunjung tinggi disana, karena pada dasarnya, latar belakang Amerika
merdeka adalah menuntut kebebasan yang sebenarnya tidak mutlak, karena dalam
ideologi ini, kebebasan harus bisa
dipertanggungjawabkan. Maka dari itu sampai sekarang, kebebasan hak
individu, kebebasan pasar dan juga pengembangan kemampuan individu secara bebas
dan maksimal.[15]
Sistem
pers libertarian dipraktikkan di Inggris setelah tahun 1668, kemudian menyeberang
ke Amerika Serikat, bahkan ke seluruh dunia. Negara yang memegang ideologi
liberalisme yang cukup sukses adalah Amerika Serikat, dimana penggunaan sistem
demokrasi yang memang sangat mendasari aktifitas perpolitikannya.[16]
Pada
dasarnya kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud dari kedaulatan rakyat dan
menjadi unsur yang begitu vital dalam menciptakan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara yang diaplikasikan secara demokratis. Dan sejatinya
pers juga dipercaya sebagai suatu wadah yang mempunyai peran untuk senantiasa
menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan.
Namun,
dengan kebebasan pers yang terlalu kuat pengaruhnya terhadap suatu rezim, akan sangat berbahaya untuk sistem
pemerintahan. Walaupun tak dipungkiri pers dapat mengontrol jalannya pemerintah
sebagai watchdog. Dan tentunya sebagai media, pers juga sangat
berbahaya dan juga berpotensi mengancam ketentraman masyarakat, jika tidak
dibatasi dengan hukum dan prinsip-prinsip agama dan moral. Oleh karena itu,
sangat perlu ada usaha yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan supremasi hukum
terhadap kejahatan pers, terlebih jika memang bertentangan dengan norma
kesusilaan, baik yang secara kultur maupun yang berlaku dalam kehidupan
beragama.[17]
Liberalisme
di AS telah dihubungkan dengan liberalisme modern, pengganti paham ideologi
liberalisme klasik dimana kepemilikan individu sangat bebas. Sehingga pada saat
itu banyak berdiri perusahaan-perusahaan swasta akibat dari sistem ekonomi
liberalisme ini.
[1] Baskara T. Wardaya. 2007. Menelusuri
Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
Hlm. 3
[2] Ibid
[3]A.
Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta:
Kanisius. Hlm. 174-177
[4] Sukarna. Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik. (Bandung: Penerbit Alumni, 1981)
[5] Ibid
[6] A.
Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta:
Kanisius.
[7] Suwarno, P.J. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia.
[8] Pers
nasional menurut UU Nomor 40 Tahun 1999 melaksanakan peranan sebagai berikut:
·
Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan
mendapatkan informasi
·
Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi,
mendorong terwujudnya supremasi hokum, dan hak asasi manusia, serta menghormati
kebhinekaan.
·
Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi
yang tepat, akurat, dan benar
·
Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
·
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai menjadi saksi di pengadilan.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai menjadi saksi di pengadilan.
[9] Baca
Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik dan
Kebebasan Pers: Antara Indonesia dan
Amerika (Jakarta: Erwin Erika Press, 2005)
[10] Hikmat
Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik – teori dan praktik, (Bandung
: PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm 17
[11] Ibid
[12] Baskara
T. Wardaya. 2007. Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat
[13] Baskara
T. Wardaya. 2007. Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat
[14] Baskara
T. Wardaya. 2007. Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat.
[15]
Simorangkir,Hukum dan Kebebasan Pers,(Bandung: Binacipta, 1980)
[16] Ibid
[17]
Simorangkir,Hukum dan Kebebasan Pers,(Bandung: Binacipta, 1980)
No comments:
Post a Comment