background

Saturday, January 4, 2014

Kebebasan Informasi dilihat dari Sistem Pers



1.    Pengertian Sistem Otoriter, Liberal dan Pancasila
Sistem otoriter dan liberal pada praktiknya pernah diberlakukan di Indonesia. Sistem otoriter adalah rezim politik yang ditandai dengan pemusatan kekuatan/kekuasaan politik di tangan sekelompok kecil elit yang tidak memberikan pertanggung-jawaban kepada masyarakat secara institusional.[1] Sistem ini pernah berlaku di Indonesia ketika rezim Orde Baru masih berkuasa.
Ada berbagai bentuk pemerintahan otoriter. Pemerintahan bisa dijalankan oleh militer atau politisi sipil, dan kekuatan politik bisa dijalankan secara langsung oleh individu atau melalui sebuah partai politik.[2] Selain Indonesia, negara-negra yang pernah menjalankan sistem otoriter ini adalah negara Jerman dan Rusia Stalin sejak tahun 1927 hingga 1953.
Sistem otoriter ini memiliki ciri-ciri[3] sebagai berikut:
a)      Infrastruktur dan fasilitas pemerintah dikendalikan secara terpusat.
b)      Menganut prinsip: “aturan datang dari seseorang bukan dari hukum”, “semua keputusan politis ditentukan oleh satu pihak da berlangsung tertutup”, dan penggunaan kekuasaan polik seolah olah tidak terbatas.
c)      Tidak ada jaminan kekebasan sipil apalagi toleransi.
d)     Tidak ada kebebasan untuk membentuk partai politik atau organisasi.
Selain keempat ciri diatas, ciri yang paling khas dari sistem otoriter yaitu kekuasaan politik yang tidak terbatas dimiliki oleh pemimpin atau partai yang berkuasa.
Sedangkan sistem liberal yaitu sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama.[4] Ada 3 hal yang mendasar dari sistem ini yaitu kehidupan, kebeasan dan hak milik.
Dalam sistem liberal negara hanya menjadi alat, negara dianggap sebagai alat untuk tujuan-tujuan yang lebih besar. Setiap individu memiliki hak maupun kesempatan yang sama dalam mengeluarkan pendapat.namun dalam sistem ini, tidak dapat menerima ajaran dogmatisme.[5]
Negara-negara di dunia yang masih menganut paham liberal seperti di negara Amerika Serikat, Australia, India, Jepang, Denmark, Belgia, Tunisia, Zambia, termasuk disini negara Rusia dan Jerman yang telah berganti menjadi paham liberal.[6]
Sistem atau paham Pancasila lebih dikenal oleh negara Asia, yaitu Indonesia. Indonesia menganut sistem yang berdasarkan apada Pancasila. Sila pertama samapi sila kelima merupakan paham atau ideologi bangsa yang masih diakui hingga saat ini. Semua keputusan atau Undang-undang yang dibuat harus bersesuaian dengan Pancasila.[7]

2.    Kekebasan Informasi dilihat dari aspek Pancasila.
Jika kita berbicara mengenai kebebasan informasi tidak pernah lepas dari kata Pers. Di Indonesia, kita mengenal tiga periode yang pernah kita lewati hingga saat ini. Periode sejarah tersebut meliputi: Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno, Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto,  dan saat ini kita telah memasuki zaman reformasi.
Pada zaman Orde lama dan Orde Baru, kebebasan pers tidak diakui sepenuhnya oleh pemerintah. Insan pers selalu terkungkung oleh kebijakan pemerintah yaitu SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), sensor hingga pembredelan. Pers hanya dianggap sebagai alat pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Tidak adanya kebebasan masyarakat untuk mengetahui keadaan negaranya secara langsung. Pers hanya boleh memberitakan hal-hal yang bertujuan menaikkan citra penguasa.
Namun, ketika kita memasuki zaman reformasi, kebebasan pers mulai diakui dan dilindungi oleh hukum.  Hal ini membawa angin segar kepada para insan pers di seluruh Indonesia. Selain membawa keuntungan kepada insan pers, tetapi juga membawa keuntungan kepada khalayak ramai tentang kebenaran yang sudah sekian lama disembunyikan oleh penguasa. Hal inilah yang menjadi salah satu keuntungan dari kebebasan pers era reformasi.
Kebebasan informasi jika dilihat dari aspek pancasila dapat dinilai demokratis. Karna saat ini masyarakat telah bisa mengeluarkan pendapat, berorganisasi maupun berkelompok. Bahkan kegiatan tersebut dijamin oleh Undang-undang. Jaminan tersebut tidak hanya berlaku untuk masyarkat namun juga insan Pers yang ada di Indonesia.
Jaminan keamanan Insan pers di Indonesia dijamin dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang kekebasan pers. Dalam undang-undang tersebut juga disebutkan peranan pers nasional.[8]
Berkembangnya kebebasan pers ternyata memunculkan dampak negatif, seperti terjadinya banyak pelanggaran terhadap UU Pers maupun terhadap Kode Etik Jurnalistik oleh kalangan pers sendiri (sebagian) maupun oleh masyarakat. Hal ini membuktikan, baik kalangan pers maupun masyarakat pada hakikatnya belum siap secara kultural maupun secara mental menerima kebebasan pers yang berbasis paham liberalisme.
Bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan pers pun beragam, antara lain dalam menetukan nilai berita yan tidak tepat. Contohnya adalah kejadian-kejadian yang tidak memiliki nilai berita yang luar biasa diberi sifat luar biasa dengan menjadikannya headline atau leads  yang pilihan kata-katanya menegangkan. Banyak juga terjadi rumus berita 5W dan 1H yang tidak tepat, pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik dan  cara memilih kata-kata atau gaya bahasa, memelintir kata,  juga membesar-besarkan kejadian yang diliput.[9]

3.    Kebebasan Informasi Dilihat Dari Aspek Otoriter
Dalam falsafah pers dikenal empat teori, yang salah satunya yaitu authoritarian Theory (teori pers otoriter) yang diakui sebagai teori pers paling tua berasal dari abad ke 16.[10]
Teori ini berasal dari falsafah kenegaraan yang membela kekuasaan absolute, jadi pada dasarnya pendekatan dilakukan dari atas ke bawah. Yang dimaksud dengan pendekatan dari atas kebawah adalah pendekatan yang dilakukan oleh yang berkuasa terhadap masyarakat biasa, yang mana pada keadaan ini masyarakat biasa tidak dapat berbuat apapun, kebebasannya dirampas dan tidak bisa mengutarakan aspirasinya. Jadi disini dimaksudkan pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada Negara.
Pemerintah bebas melakukan intervensi terhadap pers, dan pers tidak berhak dan bahkan tidak dapat untuk mengintervensi pemerintah dikarenakan pemerintah berkuasa penuh atas pers. Yang penting dicatat juga prinsip authoritarian Theory (teori pers otoriter) adalah bahwa Negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai kehidupan sosial.[11] Teori ini berawal di Inggris, Perancis dan Spanyol dan kemudian menyebar ke Rusia, Jerman, Jepang dan Negara-negara lain di Asia dan Amerika Latin.
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa authoritarian Theory (teori pers otoriter) adalah bahwa pemerintah memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai kehidupan sosial. Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh Negara kita sendiri Indonesia. Pers di Indonesia pada jaman pemerintahan orde baru atau rezim Soeharto pers disaat itu adalah pers yang otoriter, pers tidak berhak untuk mengomentari kebijakan presiden akan tetapi pers haruslah selalu mendukung kebijakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam masa itu pers sangat tidak berkembang dan informasi yang disampaikan pun tidak trasparan dan tidak dapat secara gamblang diketahui oleh masyarakat. Apabila pers melawan maka pemerintah langsung akan bertindak.
Pers yang bebas dan bertangggung jawab pada rezim orde baru tidaklah sama dengan pers yang bebas dan bertangggung jawab seperti di Amerika Serikat diawali sejak tahun 1956.
Sedangkan contoh di negara Eropa yang menerapkan sistem pers otoriter yaitu kehidupan pers yang berkembang di negara komunism. Pers di negara komunis dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah, tidak ada kepemilikan oleh perorangan atau swasta. Pemerintah dan partai komunis menggunakan pers sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuannya, yaitu sebagai instrumen yang terintegrasi dengan kekuasaan pemerintah dan partai untuk kegiatan propaganda dan digital.[12]
Secara ringkas, fungsi pers dibekas negara Uni Soviet (Rusia)[13] adalah sebagai berikut:
a)      Pers adalah sebagai propaganda, agitator, dan organisator kolektif.
b)      Pers merupakan tempat pendidikan kader-kader komunis  dikalangan massa.
c)      Pers bertugas sebagai lembaga yang memobilitasi dan mengorganisir massa untuk pengembangan ekonomi.
d)     Pers menerapkan dan meyiapkan semua dekrit, keputusan, instruksi yang dikeluarkan oleh Komite Sentral Partai maupun oleh Pemerintahan Rusia serta bahan publikasi lain dari pemerintahan.
Sesuai dengan fungsi dan peranan pers di Rusia, mereka tidak mementingkan pemberitaan, karena badan sensor tidak akan memberikan izin untuk memberitakan kejadian-kejadian penting yang tidak dikehendaki, serta menghindari pemberitaan-pemberitaan tentang hak asasi manusia.[14]

4.    Kebebasan Informasi Dilihat Dari Aspek Liberal
Negara yang menganut ideologi liberal memang paling banyak memberikan landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Kita juga tahu bahwa paham liberalisme semakin merajalela di berbagai Negara dibelahan dunia. Dan tampaknya keberhasilan sistem liberal di Amerika Serikat yang notabene merupakan negara maju yang mampu menyedot perhatian khalayak dunia akan pentingnya menengok suatu ideologi yang mendasari sebuah kebebasan sebagai nilai luhur politik yang utama.
Yang perlu kita pahami pertama kali adalah bagaimana sebenarnya teori dari ideologi ini, dimana ideologi ini mencita-citakan sebuah masyarakat yang bebas dalam artian sistem pemerintahan bisa dikatakan transparan dan mendukung serta menolak adanya pembatasan hak indiviu. Dan fenomena yang sekarang terjadi di masyarakat modern, liberalisme sangat mudah tumbuh dinegara yang menganut sistem demokrasi.
Sesuatu yang lazim kita temukan di Negara demokrasi besar seperti Amerika Serikat, kebebasan dijunjung tinggi disana, karena pada dasarnya, latar belakang Amerika merdeka adalah menuntut kebebasan yang sebenarnya tidak mutlak, karena dalam ideologi ini, kebebasan harus bisa dipertanggungjawabkan. Maka dari itu sampai sekarang, kebebasan hak individu, kebebasan pasar dan juga pengembangan kemampuan individu secara bebas dan maksimal.[15]
Sistem pers libertarian dipraktikkan di Inggris setelah tahun 1668, kemudian menyeberang ke Amerika Serikat, bahkan ke seluruh dunia. Negara yang memegang ideologi liberalisme yang cukup sukses adalah Amerika Serikat, dimana penggunaan sistem demokrasi yang memang sangat mendasari aktifitas perpolitikannya.[16]
Pada dasarnya kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud dari kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang begitu vital dalam menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diaplikasikan secara demokratis. Dan sejatinya pers juga dipercaya sebagai suatu wadah yang mempunyai peran untuk senantiasa menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan.
Namun, dengan kebebasan pers yang terlalu kuat pengaruhnya terhadap suatu rezim, akan sangat berbahaya untuk sistem pemerintahan. Walaupun tak dipungkiri pers dapat mengontrol jalannya pemerintah sebagai watchdog. Dan tentunya sebagai media, pers juga sangat berbahaya dan juga berpotensi mengancam ketentraman masyarakat, jika tidak dibatasi dengan hukum dan prinsip-prinsip agama dan moral. Oleh karena itu, sangat perlu ada usaha yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan supremasi hukum terhadap kejahatan pers, terlebih jika memang bertentangan dengan norma kesusilaan, baik yang secara kultur maupun yang berlaku dalam kehidupan beragama.[17]
Liberalisme di AS telah dihubungkan dengan liberalisme modern, pengganti paham ideologi liberalisme klasik dimana kepemilikan individu sangat bebas. Sehingga pada saat itu banyak berdiri perusahaan-perusahaan swasta akibat dari sistem ekonomi liberalisme ini.










[1] Baskara T. Wardaya. 2007. Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Hlm. 3
[2] Ibid
[3]A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius. Hlm. 174-177
[4] Sukarna. Ideologi : Suatu Studi Ilmu Politik. (Bandung: Penerbit Alumni, 1981)
[5] Ibid
[6] A. Mangunhardjana. 1997. Isme-isme dalam Etika dari A sampai Z. Jogjakarta: Kanisius.
[7] Suwarno, P.J. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia.
[8] Pers nasional menurut UU Nomor 40 Tahun 1999 melaksanakan peranan sebagai berikut:
·       Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi
·       Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hokum, dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
·       Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar
·       Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
·       Memperjuangkan keadilan dan kebenaran
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai menjadi saksi di pengadilan.

[9] Baca Tjipta Lesmana, Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers: Antara Indonesia dan Amerika (Jakarta: Erwin Erika Press, 2005)
[10] Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik – teori dan praktik, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2009), hlm 17
[11] Ibid
[12] Baskara T. Wardaya. 2007. Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
[13] Baskara T. Wardaya. 2007. Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
[14] Baskara T. Wardaya. 2007. Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
[15] Simorangkir,Hukum dan Kebebasan Pers,(Bandung: Binacipta, 1980)
[16] Ibid
[17] Simorangkir,Hukum dan Kebebasan Pers,(Bandung: Binacipta, 1980)

No comments:

Post a Comment