background

Saturday, January 4, 2014

Pandangan Orientalis terhadap Islam



1.      Pandangan Orientalis terhadap Islam
 Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi terakhir yaitu Nabi Muhammad saw dengan kitab suci yaitu Al-Qur’an. Kepercayaan dasar Islam dapat ditemukan pada dua kalimah syahadatain (dua kalimat persaksian), yaitu "asyhadu an-laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah" - yang berarti "Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah". Esensinya adalah prinsip keesaan Tuhan dan pengakuan terhadap kenabian Muhammad. Adapun bila seseorang meyakini dan kemudian mengucapkan dua kalimat persaksian ini, ia dapat dianggap telah menjadi seorang muslim dalam status sebagai mualaf (orang yang baru masuk Islam dari kepercayaan lamanya).[1]
Kaum Muslim percaya bahwa Allah mengutus Muhammad sebagai Nabi terakhir setelah diutusnya Nabi Isa 6 abad sebelumnya. Agama Islam mempercayai bahwa al-Qur'an dan Sunnah (setiap perkataan dan perbuatan Muhammad) sebagai sumber hukum dan peraturan hidup yang fundamental.[2] Mereka tidak menganggap Muhammad sebagai pengasas agama baru, melainkan sebagai penerus dan pembaharu kepercayaan yang diturunkan kepada Ibrahim, Musa, Isa, oleh Tuhan yang sama.
Islam menegaskan bahwa agama Yahudi dan Kristen belakangan setelah kepergian para nabinya telah membelokkan wahyu yang Tuhan berikan kepada nabi-nabi ini dengan mengubah teks dalam kitab suci, memperkenalkan intepretasi palsu, ataupun kedua-duanya.
Pandangan yang diberikan terhadap Islam oleh para Orientalis seperti:
a)        Menurut Dr. V. Fitzgerald[3] berkata: “Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan ‘modernis’, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain”.
b)         Prof. Gibb[4] berkata: “Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi”.
c)         Para tokoh Kristen (John Segovia, Nicholas Cusa, Jean Germain dsb) membuat konferensi untuk tujuan pemurtadan Muslim. Strategi yang digunakan adalah menyebarkan kesan pada orang Timur dan Eropa bahwa “Islam itu adalah Kristen yang sesat (misguided version of Christianity).” [5]

2.      Pandangan Islam terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an al-Karim adalah kitab suci umat islam yang menjadi dasar bagi segi kehidupan manusia. Ia diyakini sebagai sumber kebenaran yang mutlak, karena datangnya dari Allah swt.. Karena itulah umat islam merasa perlu mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan akan selalu memperjuangkan agar ajaran-ajarannya diterapkan di muka bumi sebagai rahmatanlil’alamin.
Untuk itu para musuh islam tidak pernah bosan berupaya menjatuhkan superioritas al-Qur’an, baik dari segi kebenaran mutlak maupun sebagai sumber asalnya. Hal ini (permusuhan terhadap al-Qur’an) sudah terjadi sejak masa Nabi Saw yang dilakukan oleh kaum musyrikin atau penyembah berhala. Dengan semangat yang luar biasa mereka berusaha memerangi pemikiran yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu wahyu Allah; mereka menegaskan bahwa al-Qur’an tidak lain hanyalah dusta yang mengada-ada, dan bahwasanya al-Qur’an itu adalah dongengan bohong yang Nabi meminta kepada orang lain menuliskannya siang dan malam.[6] Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang yang minta diajari orang asing/ bukan ‘Arab; atau bahwa al-Qur’an hanyalah berisi perkataan tukang sihir dan dukun. Sasaran mereka adalah memalingkan keyakinan bahwa al-Qur’an adalah wahyu samawi kepada Muhammad Saw untuk memberi petunjuk kepada umat manusia.[7]
Dalam permusuhannya terhadap al-Qur’an, kaum orientalis menempuh cara yang dilakukan oleh kaum Quraisyi Mekkah. Mereka memandang bahwa al-Qur’an bukan wahyu Allah, tetapi hanyalah tulisan atau karangan Muhammad Saw. Mereka menggunakan dalil-dalil yang bersumber dari kaum penyembah berhala. [8]
3.      Pandangan Orientalis terhadap As-Sunnah dan Nabi Muhammad
Peter, pendeta di Maimuma, menyebut Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi palsu. Yahya ad-Dimasyqi atau dikenal juga sebagai John of Damascus (750 M) juga menulis dalam bahasa Yunani kuno kepada kalangan Kristen Ortodoks bahwa Islam mengajarkan anti-Kristus. John of Damascus berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw adalah seorang penipu kepada orang Arab yang bodoh. Dengan liciknya, dia mengatakan bahwa:
Muhammad bisa mengawini Khadijah sehingga mendapat kekayaan dan kesenangan. Dengan cerdasnya, Muhammad menyembunyikan penyakit epilepsinya ketika menerima wahyu dari Jibril. Muhammad memiliki hobi perang karena nafsu seksnya tidak tersalurkan.[9]
   Senada dengan John of Damascus, Pastor Bede dari Inggris yang hidup pada tahun 673-735 M berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a wild man of desert). Bede menggambarkan Nabi Muhammad Saw sebagai seorang yang kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf, status sosial yang rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa. Sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim sebagai seorang Nabi.
Citra Muhammad mengalami pendeskripsian yang berbeda-beda di kalangan para orientalis. Hal ini mereka gunakan sebagai pijakan untuk memahami hadits. Muhammad dipahami dalam dua posisi, yaitu: statusnya sebagai Nabi dan Rasul yang telah membebaskan manusia dari kezhaliman dan sebagai paganis dan penganut Kristen dan Yahudi murtad yang akan menghancurkan ajaran-ajaran Kristen dan Yahudi, intelektual pintar yang memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong; tukang sihir yang berpenyakit gila atau ayan.[10]
Bagi para orientalis, hadits sama dengan pandangan mereka mengenai citra Muhammad dan sesuai dengan apa yang mereka pahami tentang Muhammad. Jika diklasifikasikan, kelompok orientalis yang obyektif lebih sedikit daripada orientalis yang subyektif dan mencela hadits.
Hadits menurut orientalis yang mencela adalah hasil karya ulama dan ahli-ahli fiqih yang ingin menjadikan Islam sebagai agama yang multi dimensi, komprehensif dan mencakup segala aspek kehidupan. Mereka menganggap bahwa hadits tidak lebih dari ungkapan buatan semata. Dalam konteks lain, mereka juga memahami hadits hanya merupakan jiplakan Muhammad dan pengikutnya dari ajarah Yahudi dan Kristen.
Di samping itu, mereka mengkritik hadits dengan menggunakan bahasa sunnah. Seorang ulama mengatakan bahwa sunnah pada mulanya adalah istilah yang terdapat dalam kalangan bangsa Arab, yang kemudian mengerucut dan dipakai sebagai istilah untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan Nabi. Para orientalis menyamakan hal tersebut dan mengatakan bahwa sunnah hanyalah tradisi, bukan perbuatan Nabi yang mempunyai kekuatan hukum. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Margoliouth, sunnah pada masa awal Islam berarti hal-hal yang sudah menjadi tradisi adalah bertentangan dengan teks-teks yang menjadi rujukannya.[11]

4.      Pandangan Orientalis terhadap Hukum Islam
Pada dasarnya pendekatan sejarah dalam kajian hukum islam di barat berorientasi pada dua kelompok pemikiran utama yang oleh J. Koren dan Y.D. yaitu[12]:
a)   Kelompok Tradisionalis
Kelompok tradisionalis secara umum, mereka mengkaji hukum islam melalui literature-literatur yang ditulis oleh orang arab atau orang islam. Menurut mereka literature tersebut dapat dijadikan sebagai bahan sumber kajian Islam, dan setiap fakta dan data yang ada dipandang benar selama tidak ada fakta lain yang membuktikan sebaliknya, salah satu pendukung kelompok tradisionalis adalah W. Montgomery Watt, ia merefleksikan dukungannya melalui karya-karyanya seperti; Muhammad rophet and statesmen. Adapun dalam bidang hukum, antara lain dapat disebutkan nama-nama seperti David S Power dan Wael B Hallaq.
b)  Kelompok Revisionis
Sementara kelompok revisionis lebih ekstrem terhadap Islam, bahkan mereka menyatakan bahwa Islam itu sebenarnya tidak memounyai rumusan ajaran hukum, menurut mereka hampir seluruh formulasi hukum yang ada merupakan hasil jiplakan dari aturan agama sebelumnya, khususnya yahudi; dan terkait dengan literature Arab atau Islam yang ada, merupakan upaya menjustifikasi kebenaran dan kehebatan Islam, bukan sebagai data-data sejarah, Akibatnya dalam banyak hal ditemukan sejumlah pendapat yang tidak factual atau kontradiktif. Salah satu contoh adalah hadist Nabi yang menjelaskan tentang pernikahan Nabi pada saat melakukan haji, di satu pihak sumber yang ada menyebutkan Nabi melakukannya pada waktu haji dan sementara di pihak lain menyebutkan sesudahnya. Hal ini menyebabkan terjadinya silang pendapat di kalangan fuqaha’, apakah kawin pada saat haji itu boleh atau tidak.
Kedua kelompok ini saling bertentangan, bahkan diantara mereka saling mengkritisi karya yang satu dengan yang lain. Namun menurut Rodinson bahwa terdapat perbedaan bahkan kontradiksi antara data yang ditulis pengarang satu dengan yana lain, akan tetapi secara tegas Rodinson menyatakan hal itu bukanlah suatu alasan untuk menolak karya orang-orang Arab atau Islam, selain Rodinson, Serjeant juga mengecam hasil penelitian Crone dengan menuduhnya sarjana yang tidak mempunyai bekal bahasa Arab yang memadai dan Crone sendiri menanggapi bahwaq serjeant terkesan mengada-ada dan sikapnya itu disebabkan karena fanatisme seorang Arab.[13]
Pandangan orientalis Barat terhadap Syari’at Islam dapat dikategorikan sebagai berikut:
a)      Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak pernah dilaksanakan dalam kenyataannya.[14] Teori ini dipegang oleh Noel J. Coulson. Pandangan keliru ini jelas sekali mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam, seolah-olah kaum Muslimin tidak pernah dan tidak mau mengamalkan Syari’at agamanya. Walaupun benar tidak selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Syari’ah diberlakukan, hal itu tidak berarti ia merupakan idealisme belaka. Semua ulama dan kaum Muslimin dari dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah wajib ditegakkan di muka bumi dan mengabaikannya adalah dosa.
b)      Pandangan kedua menyifatkan Syariat Islam itu sangat sewenang-wenang, kata Hamilton A.R. Gibb.[15] Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan sama menolak mentah-mentah implementasi Syari’ah di Indonesia negeri yang lebih dari sembilan-puluh persen penduduknya beragama Islam- karena dinilai menghukum sewenang-wenang.
c)      Teori ketiga disuarakan oleh Snouck Hurgronje. Menurutnya, dari sejak awal telah terjadi perceraian antara Syari’ah (yakni ulama yang mewakili sistem perundangan dan kehakiman) dan Negara (yakni umara’ atau penguasa yang menentukan sistem perpolitikan). Masing-masing berjalan mengikut caranya sendiri. Penguasa tak peduli apa kata ulama, manakala ulama mengecam tirani penguasa dan kerusakan masyarakatnya. Gambaran negatif ini merupakan generalisasi semata. Ia hanya betul untuk beberapa kasus tertentu.[16]
d)     Lawrence Rosen mengusung teori yang keempat. Menurut dia, Hukum Islam itu kacau nbalau, bersumber dari budaya dan adat istiadat, tidak memiliki standar rasional seperti Hukum Barat (common law Anglo Amerika atau civil law Eropa) yang tersusun rapi lagi rasional.[17] Pendapat miring Rosen ini memantulkan kembali imej orientalisme klasik tentang Islam sebagai sistem masyarakat primitif berbanding pola pikir Barat modern yang jauh lebih maju dan canggih.
e)      Teori kelima dianjurkan J. Schacht, yang mendakwa Syari’at Islam hanya berjalan selama lebih kurang dua abad.[18]






[1] Lihat, Ensiklopedi Islam al-Kamil, syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-tuwaijri (Jakarta: Darus Sunnah, 2007) hal…87
[2] Ibid
[3] Islam dan Orientalisme : Suatu Kajian Analitik  (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 11
[4] Ibid
[6] Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Daud Rasyid (Jakarta: Akbar, Media Eka Sarana, 2002) hal 109
[7] Ibid, hal.. 110
[8] Ibid
[9] Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir; Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam. (Bandung: CV. Diponogoro, 1991). hlm. 309
[10] Ibid
[11] http://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/11/29/pandangan-umum-orientalis-terhadap-muhammad-hadits-isnad-dan-matan-hadits/ jam 22:22
[13] Opcit
[15]  Islam dan Orientalisme : Suatu Kajian Analitik  (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1994)
[16] Abdurrahman Badawi, 2003, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS)
[17] Ibid
[18] Abdurrahman Badawi, 2003, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS)

No comments:

Post a Comment