1.
Pandangan
Orientalis terhadap Islam
Islam adalah
agama yang dibawa oleh Nabi terakhir yaitu Nabi Muhammad saw dengan kitab suci
yaitu Al-Qur’an. Kepercayaan dasar Islam dapat ditemukan pada dua kalimah syahadatain (dua kalimat persaksian),
yaitu "asyhadu an-laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan
rasuulullaah" - yang berarti "Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad saw adalah utusan Allah". Esensinya
adalah prinsip keesaan Tuhan
dan pengakuan terhadap kenabian Muhammad. Adapun bila seseorang meyakini dan kemudian
mengucapkan dua kalimat persaksian ini, ia dapat dianggap telah menjadi seorang
muslim dalam status sebagai mualaf (orang yang baru masuk Islam dari kepercayaan lamanya).[1]
Kaum Muslim percaya bahwa Allah mengutus Muhammad sebagai Nabi terakhir
setelah diutusnya Nabi Isa
6 abad sebelumnya. Agama Islam mempercayai bahwa al-Qur'an
dan Sunnah
(setiap perkataan dan perbuatan Muhammad) sebagai sumber hukum dan peraturan
hidup yang fundamental.[2]
Mereka tidak menganggap Muhammad sebagai pengasas agama baru, melainkan sebagai
penerus dan pembaharu kepercayaan yang diturunkan kepada Ibrahim,
Musa, Isa, oleh Tuhan yang sama.
Islam menegaskan bahwa agama Yahudi dan Kristen
belakangan setelah kepergian para nabinya telah membelokkan wahyu yang Tuhan
berikan kepada nabi-nabi ini dengan mengubah teks dalam kitab suci,
memperkenalkan intepretasi palsu, ataupun kedua-duanya.
Pandangan yang diberikan terhadap Islam oleh para
Orientalis seperti:
a) Menurut Dr. V. Fitzgerald[3]
berkata: “Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan
sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade
terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka
sebagai kalangan ‘modernis’, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun
seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi
itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu
sama lain”.
b) Prof. Gibb[4]
berkata: “Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan
agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat
yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan,
perundang-undangan dan institusi”.
c) Para tokoh Kristen (John
Segovia, Nicholas Cusa, Jean Germain dsb) membuat konferensi untuk tujuan
pemurtadan Muslim. Strategi yang digunakan adalah menyebarkan kesan pada orang
Timur dan Eropa bahwa “Islam itu adalah Kristen yang sesat (misguided
version of Christianity).” [5]
2.
Pandangan
Islam terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an al-Karim adalah kitab suci umat islam yang
menjadi dasar bagi segi kehidupan manusia. Ia diyakini sebagai sumber kebenaran
yang mutlak, karena datangnya dari Allah swt.. Karena itulah umat islam merasa
perlu mempelajarinya dengan sungguh-sungguh dan akan selalu memperjuangkan agar
ajaran-ajarannya diterapkan di muka bumi sebagai rahmatanlil’alamin.
Untuk itu para musuh islam tidak pernah bosan
berupaya menjatuhkan superioritas al-Qur’an, baik dari segi kebenaran mutlak
maupun sebagai sumber asalnya. Hal ini (permusuhan terhadap al-Qur’an) sudah
terjadi sejak masa Nabi Saw yang dilakukan oleh kaum musyrikin atau penyembah
berhala. Dengan semangat yang luar biasa mereka berusaha memerangi pemikiran
yang mengatakan bahwa al-Qur’an itu wahyu Allah; mereka menegaskan bahwa al-Qur’an tidak lain hanyalah dusta yang
mengada-ada, dan bahwasanya al-Qur’an
itu adalah dongengan bohong yang Nabi meminta kepada orang lain menuliskannya
siang dan malam.[6]
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang yang minta diajari orang asing/ bukan
‘Arab; atau bahwa al-Qur’an hanyalah
berisi perkataan tukang sihir dan dukun. Sasaran mereka adalah memalingkan
keyakinan bahwa al-Qur’an adalah wahyu samawi kepada Muhammad Saw untuk memberi
petunjuk kepada umat manusia.[7]
Dalam
permusuhannya terhadap al-Qur’an, kaum orientalis menempuh cara yang dilakukan
oleh kaum Quraisyi Mekkah. Mereka memandang bahwa al-Qur’an bukan wahyu Allah,
tetapi hanyalah tulisan atau karangan Muhammad Saw. Mereka menggunakan
dalil-dalil yang bersumber dari kaum penyembah berhala. [8]
3.
Pandangan
Orientalis terhadap As-Sunnah dan Nabi Muhammad
Peter,
pendeta di Maimuma, menyebut Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi palsu. Yahya
ad-Dimasyqi atau dikenal juga sebagai John of Damascus (750 M) juga menulis
dalam bahasa Yunani kuno kepada kalangan Kristen Ortodoks bahwa Islam
mengajarkan anti-Kristus. John of Damascus berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw
adalah seorang penipu kepada orang Arab yang bodoh. Dengan liciknya, dia
mengatakan bahwa:
Muhammad bisa mengawini
Khadijah sehingga mendapat kekayaan dan kesenangan. Dengan cerdasnya, Muhammad
menyembunyikan penyakit epilepsinya ketika menerima wahyu dari Jibril. Muhammad
memiliki hobi perang karena nafsu seksnya tidak tersalurkan.[9]
Senada dengan John of
Damascus, Pastor Bede dari Inggris yang hidup pada tahun 673-735 M berpendapat
bahwa Nabi Muhammad Saw adalah seorang manusia padang pasir yang liar (a
wild man of desert). Bede menggambarkan Nabi
Muhammad Saw sebagai seorang yang kasar, cinta perang dan biadab, buta huruf,
status sosial yang rendah, bodoh tentang dogma Kristen, dan tamak kuasa.
Sehingga ia menjadi penguasa dan mengklaim sebagai seorang Nabi.
Citra
Muhammad mengalami pendeskripsian yang berbeda-beda di kalangan para
orientalis. Hal ini mereka gunakan sebagai pijakan untuk memahami hadits.
Muhammad dipahami dalam dua posisi, yaitu: statusnya sebagai Nabi dan Rasul
yang telah membebaskan manusia dari kezhaliman dan sebagai paganis dan penganut
Kristen dan Yahudi murtad yang akan menghancurkan ajaran-ajaran Kristen dan
Yahudi, intelektual pintar yang memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong;
tukang sihir yang berpenyakit gila atau ayan.[10]
Bagi
para orientalis, hadits sama dengan pandangan mereka mengenai citra Muhammad
dan sesuai dengan apa yang mereka pahami tentang Muhammad. Jika
diklasifikasikan, kelompok orientalis yang obyektif lebih sedikit daripada
orientalis yang subyektif dan mencela hadits.
Hadits menurut orientalis yang
mencela adalah hasil karya ulama dan ahli-ahli fiqih yang ingin menjadikan
Islam sebagai agama yang multi dimensi, komprehensif dan mencakup segala aspek
kehidupan. Mereka menganggap bahwa hadits tidak lebih dari ungkapan buatan
semata. Dalam konteks lain, mereka juga memahami hadits hanya merupakan
jiplakan Muhammad dan pengikutnya dari ajarah Yahudi dan Kristen.
Di
samping itu, mereka mengkritik hadits dengan menggunakan bahasa sunnah. Seorang
ulama mengatakan bahwa sunnah pada mulanya adalah istilah yang terdapat dalam
kalangan bangsa Arab, yang kemudian mengerucut dan dipakai sebagai istilah
untuk menunjukkan perbuatan-perbuatan Nabi. Para orientalis menyamakan hal
tersebut dan mengatakan bahwa sunnah hanyalah tradisi, bukan perbuatan Nabi
yang mempunyai kekuatan hukum. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh
Margoliouth, sunnah pada masa awal Islam berarti hal-hal yang sudah menjadi
tradisi adalah bertentangan dengan teks-teks yang menjadi rujukannya.[11]
4.
Pandangan
Orientalis terhadap Hukum Islam
Pada
dasarnya pendekatan sejarah dalam kajian hukum islam di barat berorientasi pada
dua kelompok pemikiran utama yang oleh J. Koren dan Y.D. yaitu[12]:
a)
Kelompok
Tradisionalis
Kelompok tradisionalis secara umum, mereka mengkaji hukum
islam melalui literature-literatur yang ditulis oleh orang arab atau orang
islam. Menurut mereka literature tersebut dapat dijadikan sebagai bahan sumber
kajian Islam, dan setiap fakta dan data yang ada dipandang benar selama tidak
ada fakta lain yang membuktikan sebaliknya, salah satu pendukung kelompok
tradisionalis adalah W. Montgomery Watt, ia merefleksikan dukungannya melalui
karya-karyanya seperti; Muhammad rophet and statesmen. Adapun dalam bidang
hukum, antara lain dapat disebutkan nama-nama seperti David S Power dan Wael B
Hallaq.
b) Kelompok Revisionis
Sementara kelompok revisionis lebih ekstrem terhadap Islam,
bahkan mereka menyatakan bahwa Islam itu sebenarnya tidak memounyai rumusan
ajaran hukum, menurut mereka hampir seluruh formulasi hukum yang ada merupakan
hasil jiplakan dari aturan agama sebelumnya, khususnya yahudi; dan terkait
dengan literature Arab atau Islam yang ada, merupakan upaya menjustifikasi
kebenaran dan kehebatan Islam, bukan sebagai data-data sejarah, Akibatnya dalam
banyak hal ditemukan sejumlah pendapat yang tidak factual atau kontradiktif.
Salah satu contoh adalah hadist Nabi yang menjelaskan tentang pernikahan Nabi
pada saat melakukan haji, di satu pihak sumber yang ada menyebutkan Nabi
melakukannya pada waktu haji dan sementara di pihak lain menyebutkan
sesudahnya. Hal ini menyebabkan terjadinya silang pendapat di kalangan fuqaha’,
apakah kawin pada saat haji itu boleh atau tidak.
Kedua kelompok ini saling
bertentangan, bahkan diantara mereka saling mengkritisi karya yang satu dengan
yang lain. Namun menurut Rodinson bahwa terdapat perbedaan bahkan kontradiksi
antara data yang ditulis pengarang satu dengan yana lain, akan tetapi secara
tegas Rodinson menyatakan hal itu bukanlah suatu alasan untuk menolak karya
orang-orang Arab atau Islam, selain Rodinson, Serjeant juga mengecam hasil
penelitian Crone dengan menuduhnya sarjana yang tidak mempunyai bekal bahasa
Arab yang memadai dan Crone sendiri menanggapi bahwaq serjeant terkesan
mengada-ada dan sikapnya itu disebabkan karena fanatisme seorang Arab.[13]
Pandangan orientalis Barat terhadap
Syari’at Islam dapat dikategorikan sebagai berikut:
a) Pertama adalah pendapat yang
menyatakan bahwa Syariat Islam itu tak lebih dari sekadar wacana, karena tak
pernah dilaksanakan dalam kenyataannya.[14]
Teori ini dipegang oleh Noel J. Coulson. Pandangan keliru ini jelas sekali
mengesampingkan fakta sejarah Umat Islam, seolah-olah kaum Muslimin tidak
pernah dan tidak mau mengamalkan Syari’at agamanya. Walaupun benar tidak
selamanya dan tidak sepenuhnya hukum-hukum Syari’ah diberlakukan, hal itu tidak
berarti ia merupakan idealisme belaka. Semua ulama dan kaum Muslimin dari
dahulu hingga sekarang sepakat hukum Allah wajib ditegakkan di muka bumi dan
mengabaikannya adalah dosa.
b) Pandangan kedua menyifatkan Syariat
Islam itu sangat sewenang-wenang, kata Hamilton A.R. Gibb.[15]
Pendapat miring ini pun mirip dengan tuduhan kaum liberal yang dengan alasan
sama menolak mentah-mentah implementasi Syari’ah di Indonesia negeri yang lebih
dari sembilan-puluh persen penduduknya beragama Islam- karena dinilai menghukum
sewenang-wenang.
c) Teori ketiga disuarakan oleh Snouck
Hurgronje. Menurutnya, dari sejak awal telah terjadi perceraian antara Syari’ah
(yakni ulama yang mewakili sistem perundangan dan kehakiman) dan Negara (yakni
umara’ atau penguasa yang menentukan sistem perpolitikan). Masing-masing
berjalan mengikut caranya sendiri. Penguasa tak peduli apa kata ulama, manakala
ulama mengecam tirani penguasa dan kerusakan masyarakatnya. Gambaran negatif ini
merupakan generalisasi semata. Ia hanya betul untuk beberapa kasus tertentu.[16]
d) Lawrence Rosen mengusung teori yang
keempat. Menurut dia, Hukum Islam itu
kacau nbalau, bersumber dari budaya dan adat istiadat, tidak memiliki standar
rasional seperti Hukum Barat (common law Anglo Amerika atau civil law
Eropa) yang tersusun rapi lagi rasional.[17]
Pendapat miring Rosen ini memantulkan kembali imej orientalisme klasik tentang
Islam sebagai sistem masyarakat primitif berbanding pola pikir Barat modern
yang jauh lebih maju dan canggih.
e) Teori kelima dianjurkan J. Schacht,
yang mendakwa Syari’at Islam hanya berjalan selama lebih kurang dua abad.[18]
[1]
Lihat, Ensiklopedi Islam al-Kamil, syaikh
Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah at-tuwaijri (Jakarta: Darus Sunnah, 2007)
hal…87
[2]
Ibid
[3]
Islam dan Orientalisme : Suatu
Kajian Analitik (Jakarta : PT.
RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 11
[4]
Ibid
[6]
Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Daud Rasyid (Jakarta: Akbar,
Media Eka Sarana, 2002) hal 109
[7]
Ibid, hal.. 110
[8]
Ibid
[9]
Ahmad Muhammad Jamal, Membuka Tabir; Upaya Orientalis dalam Memalsukan Islam.
(Bandung: CV. Diponogoro, 1991). hlm. 309
[10]
Ibid
[11]
http://muhfathurrohman.wordpress.com/2012/11/29/pandangan-umum-orientalis-terhadap-muhammad-hadits-isnad-dan-matan-hadits/
jam 22:22
[13]
Opcit
[14]
http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/23/pandangan-orientalis-terhadap-fikih-islam-518373.html
jam 21:10
[15] Islam
dan Orientalisme : Suatu Kajian Analitik
(Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1994)
[16]
Abdurrahman Badawi, 2003, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS)
[17]
Ibid
[18]
Abdurrahman Badawi, 2003, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, (Yogyakarta : LkiS)
No comments:
Post a Comment