background

Saturday, January 4, 2014

Sistem Pers Nasional



1.1    Pengertian dan Sejarah Jurnalistik
Secara harfiah (etimologis, asal usul kata), jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran catatan harian.
Awal mula lahirnya Jurnalistik dimulai sekitar 3000 tahun lalu. Terdapat konsep dasar jurnalistik yaitu, penyampaian berbagai pesan, berita dan informasi. konsep dasar tersebut berakar dari saat ketika itu Firaun, Amenhotep III, di Mesir mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya yang tersebar di berbagai daerah provinsi untuk mengabarkan apa yang terjadi di pusat. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.
Media massa di Indonesia tumbuh dan berkembang secara unik, dibandingkan dengan negara lain, terutama bila dibandingkan dengan lahir dan tumbuhnya media massa di negara-negara barat dan AS. Media cetak di Indonesia lahir pada masa penjajahan Belandayaitu dengan terbitnya surat kabar Bataviase Nouvelles (1744). Koran ini tentu saja dijalankan oleh manajemen dan jurnalis Belanda. kemudian lahirlah pers "pribumi", media cetak yang berkomunikasi dengan bahasa melayu atau bahasa daerah dan dipimpin oleh seorang pribumi. masuk dalam kategori ini adalah warta berita (1901) yang selain berbahasa melayu juga dicetak dalam bahasa latin. surat kabar lain yang lahir pada abad ke-19 meskipun telah dicetak dengan huruf latin dan berbahasa melayu tetapi umumnya masih di pimpim oleh orang-orang Belanda. Koran yang dipimpin oleh kaum pribumi ini merupakan cikal bakal "pers perjuangan" yaitu media cetak berbahasa Melayu yang menyiratkan cita-cita kemerdekaan dari penjajahan asing dalam kebijakan redaksionalnya.
Istilah pers perjuangan kembali populer setelah 17 Agustus 1945, yaitu Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi kemudian pihak Belanda (mencoba) menjajah kembali bangs Indonesia. Pada era 1945-1946, koran-koran yang membawakan suara bangsa Indonesia masih mendapat survive si tengah tekanan pihak Belanda. Wartawan Indonesia H. Rosiwan Anwar adalah contoh "sisa-sisa laskar panjang" yang mengalami sendiri masa-masa sulit itu.

1.2    Pers Pada Masa kolonial Belanda dan Jepang
Ø  Zaman Belanda
Pers pada zaman ini meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, darerah atau Indonesia yang bertujuan memebela kepentingan kaum kolonialis Belanda. Disamping itu, pers juga membantu usaha pemerintah kolonial dalam melanggengkan kekuasaannya di tanah air.
Ø  Zaman Jepang
Ketika Jepang datang ke Indonesia, suratkabar yang di Indonesia diambil alih pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat-alat dan tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar.
Kantor berita ANTARA pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang yaitu DOMEI.
Wartawan Indonesia pada saat itu bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari jepang. Pada masa itu, surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji muji pemerintah dan tentara Jepang.

1.3    Peristiwa MALARI
Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Dalam peristiwa ini, 11 surat kabar harian, dan 1 majalah berita di bredeil untuk upaya mengehentikan demonstrasi mahasiswa di Jakarta. Diantara demo yakni menggugat sistem pembangunan ekonomi Orde Baru. Sekitar periode awal Orde Baru sejumlah 46 dari 163 surat kabar di Indonesia di bredeil.
Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan. Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Soegomo.
Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.

1.4    Pers Tionghoa
Pers Tionghoa muncul di Jawa pada awal abad ke-20 dan bisa dibedakan dalam dua kelompok yakni pers berbahasa Tiongkok dan pers berbahasa Melayu. Pers berbahasa Tiongkok dikelola oleh kalangan Singkek atau yang dikenal dengan sebutan China totok. Sedang pers berbahasa Melayu dikelola kalangan Tionghoa peranakan. Pers Tionghoa adalah pers yang diusahan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers ini meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia, atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
Surat kabar milik Tionghoa peranakan yang pertama terbit adalah Li Po dicetak di Sukabumi, Jawa Barat.  Tak lama kemudian muncul sejumlah surat kabar lainnya, seperti Pewarta Soerabaia (Surabaya-1902), Warna Warta (Semarang-1902), Chabar Perniagaan (Jakarta-1903), Djawa Tengah (Semarang-1909), dan Sin Po (Jakarta-1910).
Dari segi redaksional, susunan staf surat kabar Tionghoa peranankan semula menggunakan tenaga dari Indo Eropa, seperti yang dilakukan Chabar Perniagaan dan Sin Po pada awal terbitnya. Dalam perkembangannya, surat kabar Tionghoa peranankan bisa mandiri. Bahkan, ada yang memberikan kesempatan kepada orang-orang bumiputra (pribumi) sebagai jurnalis atau pengelola. Hal itu ditunjukkan oleh pengelola Keng Po, Siang Po, Sin Po, Pewarta Soersbsis, Mata Hari, dan Sin Tit Po.
Namun, jika dilihat dari spektrum politis yang dipantulkan dari surat kabar Tionghoa, setidaknya bisa dibagi dalam tiga aliran yaitu  kelompok Sin Po, kelompok Chung Hwa Hui, dan kelompok Indonesier (orang Indonesia).
Kelompok Sin Po menolak kewarganegaraan Belanda dan menghendaki tumbuhnya nasionalisme Tiongkok. Sementara kelompok Chung Hwa Hui cenderung pro-Belanda tapi masih ingin mempertahankan identitas etnisnya. Sedang kelompok Indonesier tetap ingin mempertahankan identitas etniknya.
Tetapi, secara politik ingin berasimilasi dengan masyarakat lokal dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan, ketika kalangan intelektual bumiputra (pribumi) masih kesulitan mengelola pers secara mandiri, surat kabar milik Tionghoa awal abad ke-20 menjadi salah satu sumber dan media penting untuk mendorong pergerakan nasional Indonesia guna melawan penjajah Belanda.

1.5    Pers Bumi Putera
Pers Bumi putera adalah pers yang menggunakan bahasa Melayu yang diusahakan oleh etnis Tionghoa peranakan. Fadjar Asia adalah surat kabar yang terbit di Batavia pada tahun 1927 hingga 1930. Surat kabar yang berlambang Bola Dunia ini diterbitkan dan dikelola oleh tokoh-tokoh Syarikat Islam (SI) yaitu H.O.S Tjokroaminoto dan H. Agus Salim.
Selama hidupmnya surat kabar ini dikenal sebgaia media pers yang sangat radikal dalam menyikapi kebijakan pemerintah kolonial terutama yang menyangkut perjuangan kemerdekaan Indonesia.

1.6    Pers Pancasila
Ciri-cir pers pancasila yaitu:        
Ø  Beritanya selalu agamais, tidak pernah ateis.
Ø  Menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan HAM
Ø  Selalu membina persatuan bangsa, menghindari SARA, tidak mengganggu stabilitas nasional.
Ø  Selalu menghormati pendapat dan jalan pikiran orang lain
Ø  Musyawarah dan mufakat selalu diutamakan.
Ø  Membela dan memperjuangkan keadilan sosial.
Sedangkan, landasan dari Pers Pancasila yaitu:
Ø  Idiil                      : Pancasila
Ø  Konstitusional      : UUD 1945
Ø  Yuridis                 : UU Pers
Ø  Profesional           : Kode Etik Jurnalistik
Ø  Kemasyarakatan   : norma dan nilai-nilai di masyarakat
Ø  Strategis               : Stabilitas Nasional

1.7    Sejarah dan Perkembangan ANETA
Pada tanggal 1 April 1947, ditengah Perang Dunia I, mantan pegawai Kantor Telegraf dan pernah bekerja untuk java Bode, mendirikan kantor ANETA (Algemeen Niewas En Telegraaf Agentschap).
ANETA dalam waktu singkat berkembang menjadi kantor berita / biro pers  yang besar dan modern. Pada tahun 1920, ANETA telah mempunyai kantor bertingkat lantai 3 dan pada tahun 1924 membuka sendiri stasiun radionya. ANETA menjadi pemegang monopoli penyebaran berita sosialisme, merencanakan pernaikan dan perluasan kota.

1.8    Pers Pasca Kemerdekaan
Beberapa hari setelah pembacaan teks proklamasi, banyak terjadi perebutan kekuasaan terutama perebutanperalatan percetakan. Perebutan ini banyak terjadi di perusahaan koran milik Jepang.
Pada tanggal 19 Agustus mulai banyak koran-koran yang memuat tentang kemerdekaan Indonesia. Di bulan September, kondisi pers indonesia semakin kuat, yang ditandai dengan beredarnya Soeara Merdeka dan Berita Inodnesia. Dimasa inilah, pers dijadikan alat propaganda kemerdekaan Indonesia. Walaupun masih dibawah ancaman militer Jepang.
Pada tahun 1947, pers dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
Ø  Golongan I
Golongan ini bertugas di kota-kota yang masih di duduki oleh Belanda.
Ø  Golongan II
Golongan ini bertugas di daerah-daerah pelosok Republik Indonesia.



1.9         Pers Demokrasi Terpimpin
Setelah pergolakan politik yang terus terjadi selama era demokrasi liberal, akhirnya Presiden Soekarno mengubah sistem pemerintahan menjadi Demokrasi Terpimpin. Namun, pada saat yang sama muncul berbagai pemberontakan diberbagai daerah maupun di Ibukota. Akhirnya Soekarno mengeluarkan UU Darurat Perang. Soekarno memerintahkan agar pers yang setia pada ideologi NASAKOM dapat memanfaatkannya sebagai mobilisasi rakyat. Bahkan ia tidak segan-segan melarang penerbitan surat kabar yang menentangnya.
Pada masa ini muncul dua golongan, yaitu:
Ø Golongan Kiri (Komunis)
Ø Golongan Kanan (Nasionalis)
Pers pada masa ini dianggap sebagai alat revolusi yang sangat besar pengaruhnya untuk menggerakkan dan menyelesaikan sebuah revolusi. Tahun ini merupakan tahun berkuasanya pers komunis. Namun, masa ini berakhir setelah terjadinya peristiwa G 30 S PKI yang menyebabkan semua hal yang berbau komunis dihilangkan dari Indonesia.

1.10   Pers Orde Baru
 Pers pada masa Orde baru bukan membawa angin segar bagi insan pers, melainkan kebebasan pers justru lebih dibelenggu oleh penguasa. Banyaknya kasus KKN yang diterbitkan oleh media massa, membuat maraknya surat kabar yang dibreidel oleh penguasa. Di awal pemerintahannya, Orde Baru memang menawarkan keterbukaan dan kebebasan pers namun pada kenyataannya tidaklah demikian.
Pada tahun 1994 banyak media pers yang di bredel, contohnya majalah Tempo. Majalah tempo merupakan satu-satunya media yang berjuang dan terus melawan pemerintah Orde Baru melalui tulisannya. Pemerintah memang memegang kendali semua aspek terutama dunia pers.
Dewan Pers dibuat hanya untuk melindungi kepentingan pemerintah bukan melindungi insan pers dan masyarakat. Dewan pers tidak melaksankan fungsinya dengan baik melainkan hanya sebagai formalitas.

1.11     Pers Reformasi
Kebebasan pers yang terjadi di era reformasi merupakan kebebasan struktural seiring dengan perubahan sistem pemerintahan. Perubahan sistem pemerintahan tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh arus globalisasi, sehingga pers Indonesia pada era ini cenderung menganut paham Libertarian.
Dalam era reformasi, melalui euporia kebebasan politik berdampak pada praktik kebebesan pers yang luas. Banyak media surat kabar yang diterbitkan dan memakai pola pemerintahan yang bebas, sehingga masyarakat mengakui bahwa praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati dan dirasakan oleh masyarakat, namun, dalam praktiknya, insan pers banyak melakukan pelanggaran kode etik maupun UU pers. Hal ini membuktikan, baik kalangan pers maupun masyarakat pada hakikatnya belum siap secara kultural maupun mental menerima kebebasan pers.

1.12     Breidel dan Permasalahnnya
Breidel adalah istilah dari bahasa Belanda yang berarti pemberangusan, pelarangan, atau pembatasan terhadap media massa atau produk pers, yang biasanya mengacu pada barang cetakan, seperti surat kabar dan buku. Tindakan ini dilakukan oleh pemerintah atau organisasi tertentu. Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers. Istilah yang lebih umum untuk pelarangan terhadap bentuk-bentuk ekspresi adalah penyensoran.
Pembredelan terhadap pers di Indonesia pada awalnya merupakan warisan dari Pemerintah Hindia Belanda yang menetapkan Persbreidel-Ordonantie pada 7 September 1931, seperti yang dimuat dalam Staatsblad 1931 Nomor 394 dan Staatsblad 1931 Nomor 44.
Dalam peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu, disebutkan bahwa pihak penguasa sewaktu-waktu dapat bertindak terhadap surat kabar dan majalah yang isinya dianggap mengganggu ketertiban umum. Pihak pencetak, penerbit dan redaksinya tidak akan diberi kesempatan untuk membela diri atau banding ke pengadilan di tingkat yang lebih tinggi.
Baru pada tahun 1954 aturan itu dicabut dengan terbitnya UU Nomor 23 tahun 1954. Meskipun begitu pembredelan pers terus berlanjut selama masa pemerintahan Orde Lama (1967) dan berlanjut sepanjang masa Orde Baru (1967-1998), yang menyebabkan banyak surat kabar dan majalah ditutup dan mendapat tekanan untuk tidak memberitakan suatu peristiwa atau informasi yang secara sepihak oleh penguasa dinilai tidak layak.

No comments:

Post a Comment