1.1
Pengertian dan Sejarah
Jurnalistik
Secara harfiah (etimologis,
asal usul kata), jurnalistik (journalistic)
artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya
laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau
“catatan harian” (diary).
Dalam bahasa Belanda journalistiek
artinya penyiaran catatan harian.
Awal mula lahirnya
Jurnalistik dimulai sekitar 3000 tahun lalu. Terdapat konsep dasar jurnalistik
yaitu, penyampaian berbagai pesan, berita dan informasi. konsep dasar tersebut
berakar dari saat ketika itu Firaun, Amenhotep III, di Mesir mengirimkan
ratusan pesan kepada para perwiranya yang tersebar di berbagai daerah provinsi
untuk mengabarkan apa yang terjadi di pusat. Catatan sejarah yang berkaitan
dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes
Gutenberg.
Media massa di Indonesia tumbuh
dan berkembang secara unik, dibandingkan dengan negara lain, terutama bila
dibandingkan dengan lahir dan tumbuhnya media massa di negara-negara barat dan
AS. Media cetak di Indonesia lahir pada masa penjajahan Belandayaitu dengan
terbitnya surat kabar Bataviase Nouvelles (1744). Koran ini tentu saja
dijalankan oleh manajemen dan jurnalis Belanda. kemudian lahirlah pers
"pribumi", media cetak yang berkomunikasi dengan bahasa melayu atau
bahasa daerah dan dipimpin oleh seorang pribumi. masuk dalam kategori ini
adalah warta berita (1901) yang selain berbahasa melayu juga dicetak dalam
bahasa latin. surat kabar lain yang lahir pada abad ke-19 meskipun telah
dicetak dengan huruf latin dan berbahasa melayu tetapi umumnya masih di pimpim
oleh orang-orang Belanda. Koran yang dipimpin oleh kaum pribumi ini merupakan
cikal bakal "pers perjuangan" yaitu media cetak berbahasa Melayu yang
menyiratkan cita-cita kemerdekaan dari penjajahan asing dalam kebijakan
redaksionalnya.
Istilah pers perjuangan
kembali populer setelah 17 Agustus 1945, yaitu Hari Kemerdekaan Republik
Indonesia, tetapi kemudian pihak Belanda (mencoba) menjajah kembali bangs
Indonesia. Pada era 1945-1946, koran-koran yang membawakan suara bangsa
Indonesia masih mendapat survive si tengah tekanan pihak Belanda. Wartawan
Indonesia H. Rosiwan Anwar adalah contoh "sisa-sisa laskar panjang"
yang mengalami sendiri masa-masa sulit itu.
1.2
Pers Pada Masa kolonial
Belanda dan Jepang
Ø Zaman Belanda
Pers pada zaman ini meliputi
surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, darerah atau Indonesia yang
bertujuan memebela kepentingan kaum kolonialis Belanda. Disamping itu, pers
juga membantu usaha pemerintah kolonial dalam melanggengkan kekuasaannya di
tanah air.
Ø Zaman Jepang
Ketika Jepang datang ke
Indonesia, suratkabar yang di Indonesia diambil alih pelan-pelan. Beberapa
surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat-alat dan tenaga. Tujuan
sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap
isi surat kabar.
Kantor berita ANTARA pun
diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada
dibawah pusat pemberitaan Jepang yaitu DOMEI.
Wartawan Indonesia pada saat
itu bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan
adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari jepang. Pada masa itu, surat
kabar hanya bersifat propaganda dan memuji muji pemerintah dan tentara Jepang.
1.3
Peristiwa MALARI
Peristiwa Malari (Malapetaka
Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan
sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Dalam peristiwa ini,
11 surat kabar harian, dan 1 majalah berita di bredeil untuk upaya
mengehentikan demonstrasi mahasiswa di Jakarta. Diantara demo yakni menggugat
sistem pembangunan ekonomi Orde Baru. Sekitar periode awal Orde Baru sejumlah
46 dari 163 surat kabar di Indonesia di bredeil.
Peristiwa itu terjadi saat Perdana
Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta
(14-17 Januari
1974). Mahasiswa
merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk
pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM
Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto
dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia
(IGGI), Jan P. Pronk dijadikan
momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang,
Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan. Usai terjadi demonstrasi yang
disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto
memberhentikan Soemitro
sebagai Panglima
Kopkamtib, langsung
mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten
Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin, Sutopo Juwono
digantikan oleh Yoga Soegomo.
Dalam peristiwa Malari Jenderal
Ali Moertopo
menuduh eks PSII
dan eks Masyumi
atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh
peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili,
tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks
Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari
Jenderal Soemitro
(almarhum) dalam buku Heru Cahyono,
Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau
justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi
peristiwa Malari.
1.4
Pers Tionghoa
Pers Tionghoa
muncul di Jawa pada awal abad ke-20 dan bisa dibedakan dalam dua kelompok yakni
pers berbahasa Tiongkok dan pers berbahasa Melayu. Pers berbahasa Tiongkok
dikelola oleh kalangan Singkek atau yang dikenal dengan sebutan China totok.
Sedang pers berbahasa Melayu dikelola kalangan Tionghoa peranakan. Pers Tionghoa adalah pers yang diusahan oleh orang-orang Cina di
Indonesia. Pers ini meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia,
atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
Surat kabar milik
Tionghoa peranakan yang pertama terbit adalah Li Po dicetak di Sukabumi, Jawa
Barat. Tak lama kemudian muncul sejumlah surat kabar lainnya, seperti
Pewarta Soerabaia (Surabaya-1902), Warna Warta (Semarang-1902), Chabar
Perniagaan (Jakarta-1903), Djawa Tengah (Semarang-1909), dan Sin Po
(Jakarta-1910).
Dari segi
redaksional, susunan staf surat kabar Tionghoa peranankan semula menggunakan
tenaga dari Indo Eropa, seperti yang dilakukan Chabar Perniagaan dan Sin Po
pada awal terbitnya. Dalam perkembangannya, surat kabar Tionghoa peranankan
bisa mandiri. Bahkan, ada yang memberikan kesempatan kepada orang-orang
bumiputra (pribumi) sebagai jurnalis atau pengelola. Hal itu ditunjukkan oleh
pengelola Keng Po, Siang Po, Sin Po, Pewarta Soersbsis, Mata Hari, dan Sin Tit
Po.
Namun, jika
dilihat dari spektrum politis yang dipantulkan dari surat kabar Tionghoa,
setidaknya bisa dibagi dalam tiga aliran yaitu kelompok Sin Po, kelompok
Chung Hwa Hui, dan kelompok Indonesier (orang Indonesia).
Kelompok Sin Po menolak kewarganegaraan Belanda dan menghendaki tumbuhnya nasionalisme Tiongkok. Sementara kelompok Chung Hwa Hui cenderung pro-Belanda tapi masih ingin mempertahankan identitas etnisnya. Sedang kelompok Indonesier tetap ingin mempertahankan identitas etniknya.
Kelompok Sin Po menolak kewarganegaraan Belanda dan menghendaki tumbuhnya nasionalisme Tiongkok. Sementara kelompok Chung Hwa Hui cenderung pro-Belanda tapi masih ingin mempertahankan identitas etnisnya. Sedang kelompok Indonesier tetap ingin mempertahankan identitas etniknya.
Tetapi, secara
politik ingin berasimilasi dengan masyarakat lokal dan bersedia berjuang untuk
kemerdekaan Indonesia. Bahkan, ketika kalangan intelektual bumiputra (pribumi)
masih kesulitan mengelola pers secara mandiri, surat kabar milik Tionghoa awal
abad ke-20 menjadi salah satu sumber dan media penting untuk mendorong
pergerakan nasional Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
1.5 Pers Bumi Putera
Pers Bumi putera
adalah pers yang menggunakan bahasa Melayu yang diusahakan oleh etnis Tionghoa
peranakan. Fadjar Asia adalah surat kabar yang terbit di Batavia pada tahun
1927 hingga 1930. Surat kabar yang berlambang Bola Dunia ini diterbitkan dan
dikelola oleh tokoh-tokoh Syarikat Islam (SI) yaitu H.O.S Tjokroaminoto dan H.
Agus Salim.
Selama hidupmnya
surat kabar ini dikenal sebgaia media pers yang sangat radikal dalam menyikapi
kebijakan pemerintah kolonial terutama yang menyangkut perjuangan kemerdekaan
Indonesia.
1.6 Pers Pancasila
Ciri-cir pers
pancasila yaitu:
Ø
Beritanya selalu agamais, tidak pernah ateis.
Ø
Menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan HAM
Ø
Selalu membina persatuan bangsa, menghindari
SARA, tidak mengganggu stabilitas nasional.
Ø
Selalu menghormati pendapat dan jalan pikiran
orang lain
Ø
Musyawarah dan mufakat selalu diutamakan.
Ø
Membela dan memperjuangkan keadilan sosial.
Sedangkan,
landasan dari Pers Pancasila yaitu:
Ø
Idiil :
Pancasila
Ø
Konstitusional :
UUD 1945
Ø
Yuridis :
UU Pers
Ø
Profesional :
Kode Etik Jurnalistik
Ø
Kemasyarakatan :
norma dan nilai-nilai di masyarakat
Ø
Strategis :
Stabilitas Nasional
1.7 Sejarah dan Perkembangan ANETA
Pada tanggal 1
April 1947, ditengah Perang Dunia I, mantan pegawai Kantor Telegraf dan pernah
bekerja untuk java Bode, mendirikan kantor ANETA (Algemeen Niewas En Telegraaf Agentschap).
ANETA dalam waktu
singkat berkembang menjadi kantor berita / biro pers yang besar dan modern. Pada tahun 1920, ANETA
telah mempunyai kantor bertingkat lantai 3 dan pada tahun 1924 membuka sendiri
stasiun radionya. ANETA menjadi pemegang monopoli penyebaran berita sosialisme,
merencanakan pernaikan dan perluasan kota.
1.8
Pers
Pasca Kemerdekaan
Beberapa hari
setelah pembacaan teks proklamasi, banyak terjadi perebutan kekuasaan terutama
perebutanperalatan percetakan. Perebutan ini banyak terjadi di perusahaan koran
milik Jepang.
Pada tanggal 19
Agustus mulai banyak koran-koran yang memuat tentang kemerdekaan Indonesia. Di
bulan September, kondisi pers indonesia semakin kuat, yang ditandai dengan
beredarnya Soeara Merdeka dan Berita Inodnesia. Dimasa inilah, pers
dijadikan alat propaganda kemerdekaan Indonesia. Walaupun masih dibawah ancaman
militer Jepang.
Pada tahun 1947,
pers dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
Ø Golongan
I
Golongan ini
bertugas di kota-kota yang masih di duduki oleh Belanda.
Ø Golongan
II
Golongan ini
bertugas di daerah-daerah pelosok Republik Indonesia.
1.9
Pers
Demokrasi Terpimpin
Setelah
pergolakan politik yang terus terjadi selama era demokrasi liberal, akhirnya
Presiden Soekarno mengubah sistem pemerintahan menjadi Demokrasi Terpimpin.
Namun, pada saat yang sama muncul berbagai pemberontakan diberbagai daerah
maupun di Ibukota. Akhirnya Soekarno mengeluarkan UU Darurat Perang. Soekarno
memerintahkan agar pers yang setia pada ideologi NASAKOM dapat memanfaatkannya
sebagai mobilisasi rakyat. Bahkan ia tidak segan-segan melarang penerbitan
surat kabar yang menentangnya.
Pada
masa ini muncul dua golongan, yaitu:
Ø Golongan
Kiri (Komunis)
Ø Golongan
Kanan (Nasionalis)
Pers
pada masa ini dianggap sebagai alat revolusi yang sangat besar pengaruhnya
untuk menggerakkan dan menyelesaikan sebuah revolusi. Tahun ini merupakan tahun
berkuasanya pers komunis. Namun, masa ini berakhir setelah terjadinya peristiwa
G 30 S PKI yang menyebabkan semua hal yang berbau komunis dihilangkan dari
Indonesia.
1.10 Pers
Orde Baru
Pers pada masa Orde baru bukan membawa angin
segar bagi insan pers, melainkan kebebasan pers justru lebih dibelenggu oleh
penguasa. Banyaknya kasus KKN yang diterbitkan oleh media massa, membuat maraknya
surat kabar yang dibreidel oleh penguasa. Di awal pemerintahannya, Orde Baru
memang menawarkan keterbukaan dan kebebasan pers namun pada kenyataannya
tidaklah demikian.
Pada tahun 1994
banyak media pers yang di bredel, contohnya majalah Tempo. Majalah tempo
merupakan satu-satunya media yang berjuang dan terus melawan pemerintah Orde
Baru melalui tulisannya. Pemerintah memang memegang kendali semua aspek
terutama dunia pers.
Dewan Pers dibuat
hanya untuk melindungi kepentingan pemerintah bukan melindungi insan pers dan
masyarakat. Dewan pers tidak melaksankan fungsinya dengan baik melainkan hanya
sebagai formalitas.
1.11 Pers Reformasi
Kebebasan pers yang
terjadi di era reformasi merupakan kebebasan struktural seiring dengan
perubahan sistem pemerintahan. Perubahan sistem pemerintahan tersebut sedikit
banyak dipengaruhi oleh arus globalisasi, sehingga pers Indonesia pada era ini
cenderung menganut paham Libertarian.
Dalam era
reformasi, melalui euporia kebebasan politik berdampak pada praktik kebebesan
pers yang luas. Banyak media surat kabar yang diterbitkan dan memakai pola
pemerintahan yang bebas, sehingga masyarakat mengakui bahwa praktik kebebasan
pers betul-betul dinikmati dan dirasakan oleh masyarakat, namun, dalam
praktiknya, insan pers banyak melakukan pelanggaran kode etik maupun UU pers.
Hal ini membuktikan, baik kalangan pers maupun masyarakat pada hakikatnya belum
siap secara kultural maupun mental menerima kebebasan pers.
1.12 Breidel dan Permasalahnnya
Breidel
adalah istilah dari bahasa Belanda yang berarti pemberangusan,
pelarangan, atau pembatasan terhadap media massa
atau produk pers,
yang biasanya mengacu pada barang cetakan, seperti surat kabar
dan buku. Tindakan
ini dilakukan oleh pemerintah atau organisasi
tertentu. Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan
pers. Istilah yang lebih umum untuk pelarangan terhadap bentuk-bentuk
ekspresi adalah penyensoran.
Pembredelan
terhadap pers di Indonesia pada awalnya merupakan warisan dari Pemerintah Hindia
Belanda yang menetapkan Persbreidel-Ordonantie pada 7 September 1931,
seperti yang dimuat dalam Staatsblad 1931 Nomor 394 dan Staatsblad 1931 Nomor
44.
Dalam peraturan
yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda
itu, disebutkan bahwa pihak penguasa sewaktu-waktu dapat bertindak terhadap surat kabar
dan majalah
yang isinya dianggap mengganggu ketertiban umum. Pihak
pencetak, penerbit dan redaksinya tidak akan diberi kesempatan untuk membela
diri atau banding ke pengadilan di tingkat yang lebih tinggi.
Baru pada tahun 1954
aturan itu dicabut dengan terbitnya UU Nomor 23 tahun 1954. Meskipun begitu
pembredelan pers terus berlanjut selama masa pemerintahan Orde Lama
(1967) dan berlanjut sepanjang masa Orde Baru
(1967-1998), yang menyebabkan banyak surat kabar dan majalah ditutup dan
mendapat tekanan untuk tidak memberitakan suatu peristiwa atau informasi
yang secara sepihak oleh penguasa dinilai tidak layak.
No comments:
Post a Comment