A. Perkembangan Pers di Indonesia
Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak
terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa
kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu pers Kolonial,
pers Cina, dan pers Nasional.
Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh
orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial/penjajahan. Pers kolonial
meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, daerah atau
Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis Belanda.
Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di
Indonesia. Pers Cina meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia
atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
Pers
Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama
orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini
bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan.
Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan
Priyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh
pemrakarsa pers Nasional. Adapun
perkembangan pers Nasional dapat dikategorikan menjadi beberapa periode seperti
dibawah ini.
B.
Pers
di Era Kolonial (tahun 1744 sampai awal abad 19)
Era
kolonial memiliki batasan hingga akhir abad 19. Pada mulanya pemerintahan
kolonial Belanda menerbitkan surat kabar berbahsa belanda kemudian masyarakat
Indo Raya dan Cian juga menerbitkan suratkabar dalam bahasa Belanda, Cina dan
bahasa daerah. Pada tahun 1615 atas
perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur
Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia
ialah suatu penerbitan pemerintah VOC.
Pada Maret 1688, tiba
mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah,
diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat
ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah
surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik
percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih
berbentuk koran iklan. fungsinya untuk membantu pemerintahan kolonial belanda.
Dalam era
ini dapat diketahui bahwa Bataviasche
Nuvelles en politique Raisonnementen yang terbit pada Agustus 1744 di
Batavia (Jakarta) merupakan surat kabar pertama di Indonesia. Namun pada Juni
1776 surat kabar ini dibredel. Sampai pertengahan abad 19, setidaknya ada 30
surat kabar yang dterbitkan dalam bahasa Belanda, 27 suratkabar berbahasa
Indonesia dan satu surat kabar berbahasa Jawa.
C.
Pers
di masa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)
Jepang
menduduki Indonesia kurang lebih 3.5 tahun. Untuk meraih simpati rakyat
Indonesia, Jepang melakukan propaganda tentang Asia Timur Raya. Namun,
propaganda itu hanyalah demi kejayaan Jepang belaka. Sebagai konsekuensinya,
seluruh sembur daya Indonesia di arahkan untuk kepentingan Jepang.
Pers di
masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintahan Jepang dan sifat
pro-Jepang. Beberapa harian yang muncul pada masa itu, antara lain:
Ø Asia Raya di Jakarta.
Ø Sinar Baru di Semarang.
Ø Suara Asia di Surabaya.
Ø Tjahaya di Bandung.
Pers nasional masa pendudukan Jepang
memang mengalami penderitaan dan pengekangan kebebasan yang lebih daripada
zaman Belanda. Insan pers Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman
penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan , pendidikan
dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan.
Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar. Pada
era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai
diberlakukannya izin penerbitan pers.
Selain itu Jepang juga mendirikan
Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor
berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.
Namun, ada beberapa keuntungan yang
didapat oleh para wartawan atau insan pers di indonesia yang bekerja pada
penerbitan Jepang, antara lain sebagai berikut:
1.
Pengalaman
yang diperoleh para karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat-alat
yang digunakan jauh lebih banyak daripada masa pers zaman Belanda. Para
karyawan pers mendapatkan pengalaman banyak dalam menggunakan berbagai
fasilitas tersebut.
2.
Penggunaan
bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin seering dan luas. Penjajah Jepang
berusaha menghapus bahasa Belanda dengan kebijakan menggunakan bahasa Indonesia
dalam berbagai kesempatan. Kondisi ini sangat membantuk perkembangan bahasa
Indonesia yang nantinya juga menjadi bahasa nasional.
3.
Adanya
pengajaran untuk rakyat agar berfikir kritis terhadap berita yang disajikan
oleh sumber-sumber resmi Jepang. Selain itu, kekejaman dan penderitaan yang
dialami pada masa pendudukan Jepang memudahkan para pemimpin bangsa memberikan
semangat untuk melawan penjajah.
D.
Pers
Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin (Orde Lama)
Pers di
masa demokrasi liberal (1949-1959) landasan kemerdekaan pers adalah konstitusi
RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu Setiap orang berhak atas kebebasan
mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Isi pasal ini kemudian dicantumkan dalam
UUD Sementara 1950. Awal
pembatasan pers di masa demokrasi liberal adalah efek samping dari keluhan wartawan terhadap pers
Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers asing saja
tetapi terhadap pers nasional. Demokrasi liberal berakhir ketika Orde Lama
dimulai. Era demokrasi liberal adalah sejak Pemilu 1955 hingga Dekrit Presiden
1959.
Lebih
kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945,
tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor
berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po
dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.
Awal tahun
1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi
bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar,
majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang
diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa
perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964
kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip
dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol
semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber
wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Pada masa orde lama kebebasan pers cukup dijamin, karena
masa itu adalah masa dimana pers merupakan sarana yang dipakai pemerintah
maupun oposisi untuk menyiarkan kebijakannya dan pers itu sendiri menjadi lebih
berkembang dengan hadirnya proyek televisi pemerintah yaitu TVRI. Sejak tahun 1962 inilah Televisi
Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih. Namun, karena
TVRI adalah stasiun televisi milik negara, maka pemerintah jugalah yang
menguasainya.
Berikut
ini merupakan ciri-ciri pers pada masa orde lama:
Ø Terbagi atas beberapa jenis, yaitu umum dan politik. Contoh pers umum yaitu Indonesia Raya, Merdeka.
Ø Pers melakukan kerja sama ke partai politik amat banyak dan
justru oplahnya tinggi. Contohnya: Suluh Marhaen ke PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Bintang Timur berafiliasi ke PKI
(Partai Komunis Indonesia)
Ø Penyerangan terhadap lawan politik
amat lazim. Headline (kepala berita) dan karikatur yang sarkastis/kasar amat
lazim digunakan. Bahkan tidak tabu menggambarkan lawan politik sebagai anjing misalnya,
meski ia menjabat sebagai menteri sekalipun.
Ø Menjelang Orde Lama jatuh, muncul
media massa yang anti Soekarno dan Orde Lama. Terbagi menjadi media kampus
seperti Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) atau Gelora Mahasiswa
UGM. Sementara media umum seperti Kompas.
Ø Radio swasta niaga nyaris tidak ada. Hanya ada RRI yang
jangkauannya luas. Namun ada radio komunitas yg dibuat mahasiswa seperti Radio
ARH (Arief Rahman Hakim) dari UI dgn jangkauan terbatas.
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer
atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan
partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers,
pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa partai politik
memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal
sebagai pers partisipan.
E.
Pers
Masa Orde Baru
“Awal masa kepemimpinan
pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi
terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila.”
Pernyataan
ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga
lahirlah istilah pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers
pancasila.
Dalam
rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah
pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya
didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945. Hakikat pers pancasila
adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam
menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif,
penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “indah”
antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang
Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan
pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk
menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit.
Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak
terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan
pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan
repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan
jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat
artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun
1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK,
dan Editor.
F.
Pers
Masa Reformasi
Pada
tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan
reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers.
Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers
Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman
pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa
reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini
sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan
rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers
atau koran, majalah, atau tabloid baru.
Di Era
reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini
disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting
dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam
Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak
asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung
perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan
penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam
pasal 4 ayat 2.
Pada masa
reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional
melaksanakan peranan sebagai berikut:
Ø Memenuhi hak masyarakat untuk
mengetahui dan mendapatkan informasi.
Ø Menegakkan nilai dasar demokrasi,
mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati
kebhinekaan.
Ø Mengembangkan pendapat umum berdasar
informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Ø Melakukan pengawasan, kritik,
koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Ø Memperjuangkan keadilan dan
kebenaran.
Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak
tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara
menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan
dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
G.
Kebebasan
Pers Reformasi saat ini
Kebebasan
pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil
Presiden Boediono, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang
bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara
kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya
untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan
media massa (the power of the press).
Di bawah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil PresidenBoediono, kebebasan pers
Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola
media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu
mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam
kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers
nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan
pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik
media). Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan
publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan
sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan.