background

Monday, January 13, 2014

GoodBye '13

Lama sudah telah bersama dan aku terluka
Lagi dan lagi kau sakitiku
Lama sudah telah bersama hingga ku terjaga
Ternyata salah telah memilihmu
Waktunya ku ucap goodbye!
(FATIN - GOODBYE)

selama tahun 2013, banyak masa-masa yang susah buat dilupakan.
termasuk ANDA.

yah, anda yang selama 2013 ini menemani saya. 
aku tak pernah menyesali adanya pertemuan kita. 
aku hanya menyesali akhir dari pertemuan kita.
kau bertingkah seperti tak pernah mengenalku lagi.
kau berdalih seakan aku yang salah.
kau bungkam. tak sepatah kata pun kau ucapkan.
satu kata untuk menjelaskan keadaan ini. 
siapa aku bagimu?!
siapa aku dikehidupanmu?!
pernahkah kau mengakui keberadaanku?!
tidak bisakah hargai keberadaanku?? 
sedetik saja. sedetik hanya untuk membuatku yakin.

jujur, bukan akhir seperti ini yang aku mau.
kita mengenal dengan cara yang baik, apa harus berpisah dengan cara yang buruk??
20 Oktober itu menjadi akhir untuk kita. 
aku memutuskan untuk pergi.
aku tak pernah memikirkan untuk pergi hingga sejauh ini.
tapi sikapmu lah yang membuatku melakukan semua ini.

aku lelah.
maaf ini akhir semuanya.
aku akan berusaha untuk tidak terus hidup di masa lalu.
kau masa laluku.
aku akan hidup untuk sekarang, dan masa depanku.
jika kau diizinkan  untuk tetap berada di masa depanku, semoga ini menjadi pelajaran sekaligus kenangan untuk kita. 

 

Saturday, January 4, 2014

Sistem Pers Nasional



1.1    Pengertian dan Sejarah Jurnalistik
Secara harfiah (etimologis, asal usul kata), jurnalistik (journalistic) artinya kewartawanan atau hal-ihwal pemberitaan. Kata dasarnya “jurnal” (journal), artinya laporan atau catatan, atau “jour” dalam bahasa Prancis yang berarti “hari” (day) atau “catatan harian” (diary). Dalam bahasa Belanda journalistiek artinya penyiaran catatan harian.
Awal mula lahirnya Jurnalistik dimulai sekitar 3000 tahun lalu. Terdapat konsep dasar jurnalistik yaitu, penyampaian berbagai pesan, berita dan informasi. konsep dasar tersebut berakar dari saat ketika itu Firaun, Amenhotep III, di Mesir mengirimkan ratusan pesan kepada para perwiranya yang tersebar di berbagai daerah provinsi untuk mengabarkan apa yang terjadi di pusat. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.
Media massa di Indonesia tumbuh dan berkembang secara unik, dibandingkan dengan negara lain, terutama bila dibandingkan dengan lahir dan tumbuhnya media massa di negara-negara barat dan AS. Media cetak di Indonesia lahir pada masa penjajahan Belandayaitu dengan terbitnya surat kabar Bataviase Nouvelles (1744). Koran ini tentu saja dijalankan oleh manajemen dan jurnalis Belanda. kemudian lahirlah pers "pribumi", media cetak yang berkomunikasi dengan bahasa melayu atau bahasa daerah dan dipimpin oleh seorang pribumi. masuk dalam kategori ini adalah warta berita (1901) yang selain berbahasa melayu juga dicetak dalam bahasa latin. surat kabar lain yang lahir pada abad ke-19 meskipun telah dicetak dengan huruf latin dan berbahasa melayu tetapi umumnya masih di pimpim oleh orang-orang Belanda. Koran yang dipimpin oleh kaum pribumi ini merupakan cikal bakal "pers perjuangan" yaitu media cetak berbahasa Melayu yang menyiratkan cita-cita kemerdekaan dari penjajahan asing dalam kebijakan redaksionalnya.
Istilah pers perjuangan kembali populer setelah 17 Agustus 1945, yaitu Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi kemudian pihak Belanda (mencoba) menjajah kembali bangs Indonesia. Pada era 1945-1946, koran-koran yang membawakan suara bangsa Indonesia masih mendapat survive si tengah tekanan pihak Belanda. Wartawan Indonesia H. Rosiwan Anwar adalah contoh "sisa-sisa laskar panjang" yang mengalami sendiri masa-masa sulit itu.

1.2    Pers Pada Masa kolonial Belanda dan Jepang
Ø  Zaman Belanda
Pers pada zaman ini meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, darerah atau Indonesia yang bertujuan memebela kepentingan kaum kolonialis Belanda. Disamping itu, pers juga membantu usaha pemerintah kolonial dalam melanggengkan kekuasaannya di tanah air.
Ø  Zaman Jepang
Ketika Jepang datang ke Indonesia, suratkabar yang di Indonesia diambil alih pelan-pelan. Beberapa surat kabar disatukan dengan alasan menghemat alat-alat dan tenaga. Tujuan sebenarnya adalah agar pemerintah Jepang dapat memperketat pengawasan terhadap isi surat kabar.
Kantor berita ANTARA pun diambil alih dan diteruskan oleh kantor berita Yashima dan selanjutnya berada dibawah pusat pemberitaan Jepang yaitu DOMEI.
Wartawan Indonesia pada saat itu bekerja sebagai pegawai, sedangkan yang diberi pengaruh serta kedudukan adalah wartawan yang sengaja didatangkan dari jepang. Pada masa itu, surat kabar hanya bersifat propaganda dan memuji muji pemerintah dan tentara Jepang.

1.3    Peristiwa MALARI
Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Dalam peristiwa ini, 11 surat kabar harian, dan 1 majalah berita di bredeil untuk upaya mengehentikan demonstrasi mahasiswa di Jakarta. Diantara demo yakni menggugat sistem pembangunan ekonomi Orde Baru. Sekitar periode awal Orde Baru sejumlah 46 dari 163 surat kabar di Indonesia di bredeil.
Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan. Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Soegomo.
Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.

1.4    Pers Tionghoa
Pers Tionghoa muncul di Jawa pada awal abad ke-20 dan bisa dibedakan dalam dua kelompok yakni pers berbahasa Tiongkok dan pers berbahasa Melayu. Pers berbahasa Tiongkok dikelola oleh kalangan Singkek atau yang dikenal dengan sebutan China totok. Sedang pers berbahasa Melayu dikelola kalangan Tionghoa peranakan. Pers Tionghoa adalah pers yang diusahan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers ini meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia, atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
Surat kabar milik Tionghoa peranakan yang pertama terbit adalah Li Po dicetak di Sukabumi, Jawa Barat.  Tak lama kemudian muncul sejumlah surat kabar lainnya, seperti Pewarta Soerabaia (Surabaya-1902), Warna Warta (Semarang-1902), Chabar Perniagaan (Jakarta-1903), Djawa Tengah (Semarang-1909), dan Sin Po (Jakarta-1910).
Dari segi redaksional, susunan staf surat kabar Tionghoa peranankan semula menggunakan tenaga dari Indo Eropa, seperti yang dilakukan Chabar Perniagaan dan Sin Po pada awal terbitnya. Dalam perkembangannya, surat kabar Tionghoa peranankan bisa mandiri. Bahkan, ada yang memberikan kesempatan kepada orang-orang bumiputra (pribumi) sebagai jurnalis atau pengelola. Hal itu ditunjukkan oleh pengelola Keng Po, Siang Po, Sin Po, Pewarta Soersbsis, Mata Hari, dan Sin Tit Po.
Namun, jika dilihat dari spektrum politis yang dipantulkan dari surat kabar Tionghoa, setidaknya bisa dibagi dalam tiga aliran yaitu  kelompok Sin Po, kelompok Chung Hwa Hui, dan kelompok Indonesier (orang Indonesia).
Kelompok Sin Po menolak kewarganegaraan Belanda dan menghendaki tumbuhnya nasionalisme Tiongkok. Sementara kelompok Chung Hwa Hui cenderung pro-Belanda tapi masih ingin mempertahankan identitas etnisnya. Sedang kelompok Indonesier tetap ingin mempertahankan identitas etniknya.
Tetapi, secara politik ingin berasimilasi dengan masyarakat lokal dan bersedia berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Bahkan, ketika kalangan intelektual bumiputra (pribumi) masih kesulitan mengelola pers secara mandiri, surat kabar milik Tionghoa awal abad ke-20 menjadi salah satu sumber dan media penting untuk mendorong pergerakan nasional Indonesia guna melawan penjajah Belanda.

1.5    Pers Bumi Putera
Pers Bumi putera adalah pers yang menggunakan bahasa Melayu yang diusahakan oleh etnis Tionghoa peranakan. Fadjar Asia adalah surat kabar yang terbit di Batavia pada tahun 1927 hingga 1930. Surat kabar yang berlambang Bola Dunia ini diterbitkan dan dikelola oleh tokoh-tokoh Syarikat Islam (SI) yaitu H.O.S Tjokroaminoto dan H. Agus Salim.
Selama hidupmnya surat kabar ini dikenal sebgaia media pers yang sangat radikal dalam menyikapi kebijakan pemerintah kolonial terutama yang menyangkut perjuangan kemerdekaan Indonesia.

1.6    Pers Pancasila
Ciri-cir pers pancasila yaitu:        
Ø  Beritanya selalu agamais, tidak pernah ateis.
Ø  Menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan HAM
Ø  Selalu membina persatuan bangsa, menghindari SARA, tidak mengganggu stabilitas nasional.
Ø  Selalu menghormati pendapat dan jalan pikiran orang lain
Ø  Musyawarah dan mufakat selalu diutamakan.
Ø  Membela dan memperjuangkan keadilan sosial.
Sedangkan, landasan dari Pers Pancasila yaitu:
Ø  Idiil                      : Pancasila
Ø  Konstitusional      : UUD 1945
Ø  Yuridis                 : UU Pers
Ø  Profesional           : Kode Etik Jurnalistik
Ø  Kemasyarakatan   : norma dan nilai-nilai di masyarakat
Ø  Strategis               : Stabilitas Nasional

1.7    Sejarah dan Perkembangan ANETA
Pada tanggal 1 April 1947, ditengah Perang Dunia I, mantan pegawai Kantor Telegraf dan pernah bekerja untuk java Bode, mendirikan kantor ANETA (Algemeen Niewas En Telegraaf Agentschap).
ANETA dalam waktu singkat berkembang menjadi kantor berita / biro pers  yang besar dan modern. Pada tahun 1920, ANETA telah mempunyai kantor bertingkat lantai 3 dan pada tahun 1924 membuka sendiri stasiun radionya. ANETA menjadi pemegang monopoli penyebaran berita sosialisme, merencanakan pernaikan dan perluasan kota.

1.8    Pers Pasca Kemerdekaan
Beberapa hari setelah pembacaan teks proklamasi, banyak terjadi perebutan kekuasaan terutama perebutanperalatan percetakan. Perebutan ini banyak terjadi di perusahaan koran milik Jepang.
Pada tanggal 19 Agustus mulai banyak koran-koran yang memuat tentang kemerdekaan Indonesia. Di bulan September, kondisi pers indonesia semakin kuat, yang ditandai dengan beredarnya Soeara Merdeka dan Berita Inodnesia. Dimasa inilah, pers dijadikan alat propaganda kemerdekaan Indonesia. Walaupun masih dibawah ancaman militer Jepang.
Pada tahun 1947, pers dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
Ø  Golongan I
Golongan ini bertugas di kota-kota yang masih di duduki oleh Belanda.
Ø  Golongan II
Golongan ini bertugas di daerah-daerah pelosok Republik Indonesia.



1.9         Pers Demokrasi Terpimpin
Setelah pergolakan politik yang terus terjadi selama era demokrasi liberal, akhirnya Presiden Soekarno mengubah sistem pemerintahan menjadi Demokrasi Terpimpin. Namun, pada saat yang sama muncul berbagai pemberontakan diberbagai daerah maupun di Ibukota. Akhirnya Soekarno mengeluarkan UU Darurat Perang. Soekarno memerintahkan agar pers yang setia pada ideologi NASAKOM dapat memanfaatkannya sebagai mobilisasi rakyat. Bahkan ia tidak segan-segan melarang penerbitan surat kabar yang menentangnya.
Pada masa ini muncul dua golongan, yaitu:
Ø Golongan Kiri (Komunis)
Ø Golongan Kanan (Nasionalis)
Pers pada masa ini dianggap sebagai alat revolusi yang sangat besar pengaruhnya untuk menggerakkan dan menyelesaikan sebuah revolusi. Tahun ini merupakan tahun berkuasanya pers komunis. Namun, masa ini berakhir setelah terjadinya peristiwa G 30 S PKI yang menyebabkan semua hal yang berbau komunis dihilangkan dari Indonesia.

1.10   Pers Orde Baru
 Pers pada masa Orde baru bukan membawa angin segar bagi insan pers, melainkan kebebasan pers justru lebih dibelenggu oleh penguasa. Banyaknya kasus KKN yang diterbitkan oleh media massa, membuat maraknya surat kabar yang dibreidel oleh penguasa. Di awal pemerintahannya, Orde Baru memang menawarkan keterbukaan dan kebebasan pers namun pada kenyataannya tidaklah demikian.
Pada tahun 1994 banyak media pers yang di bredel, contohnya majalah Tempo. Majalah tempo merupakan satu-satunya media yang berjuang dan terus melawan pemerintah Orde Baru melalui tulisannya. Pemerintah memang memegang kendali semua aspek terutama dunia pers.
Dewan Pers dibuat hanya untuk melindungi kepentingan pemerintah bukan melindungi insan pers dan masyarakat. Dewan pers tidak melaksankan fungsinya dengan baik melainkan hanya sebagai formalitas.

1.11     Pers Reformasi
Kebebasan pers yang terjadi di era reformasi merupakan kebebasan struktural seiring dengan perubahan sistem pemerintahan. Perubahan sistem pemerintahan tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh arus globalisasi, sehingga pers Indonesia pada era ini cenderung menganut paham Libertarian.
Dalam era reformasi, melalui euporia kebebasan politik berdampak pada praktik kebebesan pers yang luas. Banyak media surat kabar yang diterbitkan dan memakai pola pemerintahan yang bebas, sehingga masyarakat mengakui bahwa praktik kebebasan pers betul-betul dinikmati dan dirasakan oleh masyarakat, namun, dalam praktiknya, insan pers banyak melakukan pelanggaran kode etik maupun UU pers. Hal ini membuktikan, baik kalangan pers maupun masyarakat pada hakikatnya belum siap secara kultural maupun mental menerima kebebasan pers.

1.12     Breidel dan Permasalahnnya
Breidel adalah istilah dari bahasa Belanda yang berarti pemberangusan, pelarangan, atau pembatasan terhadap media massa atau produk pers, yang biasanya mengacu pada barang cetakan, seperti surat kabar dan buku. Tindakan ini dilakukan oleh pemerintah atau organisasi tertentu. Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers. Istilah yang lebih umum untuk pelarangan terhadap bentuk-bentuk ekspresi adalah penyensoran.
Pembredelan terhadap pers di Indonesia pada awalnya merupakan warisan dari Pemerintah Hindia Belanda yang menetapkan Persbreidel-Ordonantie pada 7 September 1931, seperti yang dimuat dalam Staatsblad 1931 Nomor 394 dan Staatsblad 1931 Nomor 44.
Dalam peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda itu, disebutkan bahwa pihak penguasa sewaktu-waktu dapat bertindak terhadap surat kabar dan majalah yang isinya dianggap mengganggu ketertiban umum. Pihak pencetak, penerbit dan redaksinya tidak akan diberi kesempatan untuk membela diri atau banding ke pengadilan di tingkat yang lebih tinggi.
Baru pada tahun 1954 aturan itu dicabut dengan terbitnya UU Nomor 23 tahun 1954. Meskipun begitu pembredelan pers terus berlanjut selama masa pemerintahan Orde Lama (1967) dan berlanjut sepanjang masa Orde Baru (1967-1998), yang menyebabkan banyak surat kabar dan majalah ditutup dan mendapat tekanan untuk tidak memberitakan suatu peristiwa atau informasi yang secara sepihak oleh penguasa dinilai tidak layak.

Perkembangan Pers di Indonesia



A.    Perkembangan Pers di Indonesia
Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak terlepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi 3 golongan, yaitu pers Kolonial, pers Cina, dan pers Nasional.
Pers Kolonial adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Belanda di Indonesia pada masa kolonial/penjajahan. Pers kolonial meliputi surat kabar, majalah, dan koran berbahasa Belanda, daerah atau Indonesia yang bertujuan membela kepentingan kaum kolonialis Belanda.
Pers Cina adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Cina di Indonesia. Pers Cina meliputi koran-koran, majalah dalam bahasa Cina, Indonesia atau Belanda yang diterbitkan oleh golongan penduduk keturunan Cina.
Pers Nasional adalah pers yang diusahakan oleh orang-orang Indonesia terutama orang-orang pergerakan dan diperuntukkan bagi orang Indonesia. Pers ini bertujuan memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia di masa penjajahan. Tirtohadisorejo atau Raden Djokomono, pendiri surat kabar mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang menjadi harian, dianggap sebagai tokoh pemrakarsa pers Nasional. Adapun perkembangan pers Nasional dapat dikategorikan menjadi beberapa periode seperti dibawah ini.

B.     Pers di Era Kolonial (tahun 1744 sampai awal abad 19)
Era kolonial memiliki batasan hingga akhir abad 19. Pada mulanya pemerintahan kolonial Belanda menerbitkan surat kabar berbahsa belanda kemudian masyarakat Indo Raya dan Cian juga menerbitkan suratkabar dalam bahasa Belanda, Cina dan bahasa daerah. Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC.
Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan. fungsinya untuk membantu pemerintahan kolonial belanda.
Dalam era ini dapat diketahui bahwa Bataviasche Nuvelles en politique Raisonnementen yang terbit pada Agustus 1744 di Batavia (Jakarta) merupakan surat kabar pertama di Indonesia. Namun pada Juni 1776 surat kabar ini dibredel. Sampai pertengahan abad 19, setidaknya ada 30 surat kabar yang dterbitkan dalam bahasa Belanda, 27 suratkabar berbahasa Indonesia dan satu surat kabar berbahasa Jawa.

C.     Pers di masa Penjajahan Jepang (1942 - 1945)
Jepang menduduki Indonesia kurang lebih 3.5 tahun. Untuk meraih simpati rakyat Indonesia, Jepang melakukan propaganda tentang Asia Timur Raya. Namun, propaganda itu hanyalah demi kejayaan Jepang belaka. Sebagai konsekuensinya, seluruh sembur daya Indonesia di arahkan untuk kepentingan Jepang.
Pers di masa pendudukan Jepang semata-mata menjadi alat pemerintahan Jepang dan sifat pro-Jepang. Beberapa harian yang muncul pada masa itu, antara lain:
Ø  Asia Raya di Jakarta.
Ø  Sinar Baru di Semarang.
Ø  Suara Asia di Surabaya.
Ø  Tjahaya di Bandung.
Pers nasional masa pendudukan Jepang memang mengalami penderitaan dan pengekangan kebebasan yang lebih daripada zaman Belanda. Insan pers Indonesia banyak yang berjuang tidak dengan ketajaman penanya melainkan dengan jalan lain seperti organisasi keagamaan , pendidikan dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa di masa Jepang pers Indonesia tertekan. Surat kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda dilarang beredar. Pada era ini pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun juga mulai diberlakukannya izin penerbitan pers.
Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan cabang kantor berita Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indonesia yakni Aneta dan Antara.
Namun, ada beberapa keuntungan yang didapat oleh para wartawan atau insan pers di indonesia yang bekerja pada penerbitan Jepang, antara lain sebagai berikut:
1.      Pengalaman yang diperoleh para karyawan pers Indonesia bertambah. Fasilitas dan alat-alat yang digunakan jauh lebih banyak daripada masa pers zaman Belanda. Para karyawan pers mendapatkan pengalaman banyak dalam menggunakan berbagai fasilitas tersebut.
2.      Penggunaan bahasa Indonesia dalam pemberitaan makin seering dan luas. Penjajah Jepang berusaha menghapus bahasa Belanda dengan kebijakan menggunakan bahasa Indonesia dalam berbagai kesempatan. Kondisi ini sangat membantuk perkembangan bahasa Indonesia yang nantinya juga menjadi bahasa nasional.
3.      Adanya pengajaran untuk rakyat agar berfikir kritis terhadap berita yang disajikan oleh sumber-sumber resmi Jepang. Selain itu, kekejaman dan penderitaan yang dialami pada masa pendudukan Jepang memudahkan para pemimpin bangsa memberikan semangat untuk melawan penjajah.

D.    Pers Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin (Orde Lama)
Pers di masa demokrasi liberal (1949-1959) landasan kemerdekaan pers adalah konstitusi RIS 1949 dan UUD Sementara 1950, yaitu Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Isi pasal ini kemudian dicantumkan dalam UUD Sementara 1950. Awal pembatasan pers di masa demokrasi liberal adalah efek samping dari keluhan wartawan terhadap pers Belanda dan Cina, namun pemerintah tidak membatasi pembreidelan pers asing saja tetapi terhadap pers nasional. Demokrasi liberal berakhir ketika Orde Lama dimulai. Era demokrasi liberal adalah sejak Pemilu 1955 hingga Dekrit Presiden 1959.
Lebih kurang 10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan tekanan pers terus berlangsung, yaitu pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan oleh penguasa perang Jakarta.
Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”. Masih tahun 1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
Pada masa orde lama kebebasan pers cukup dijamin, karena masa itu adalah masa dimana pers merupakan sarana yang dipakai pemerintah maupun oposisi untuk menyiarkan kebijakannya dan pers itu sendiri menjadi lebih berkembang dengan hadirnya proyek televisi pemerintah yaitu TVRI. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih. Namun, karena TVRI adalah stasiun televisi milik negara, maka pemerintah jugalah yang menguasainya.
Berikut ini merupakan ciri-ciri pers pada masa orde lama:
Ø  Terbagi atas beberapa jenis, yaitu umum dan politik. Contoh pers umum yaitu Indonesia Raya, Merdeka.
Ø   Pers melakukan kerja sama ke partai politik amat banyak dan justru oplahnya tinggi. Contohnya: Suluh Marhaen ke PNI (Partai Nasional Indonesia) dan Bintang Timur berafiliasi ke PKI (Partai Komunis Indonesia)
Ø  Penyerangan terhadap lawan politik amat lazim. Headline (kepala berita) dan karikatur yang sarkastis/kasar amat lazim digunakan. Bahkan tidak tabu menggambarkan lawan politik sebagai anjing misalnya, meski ia menjabat sebagai menteri sekalipun.
Ø  Menjelang Orde Lama jatuh, muncul media massa yang anti Soekarno dan Orde Lama. Terbagi menjadi media kampus seperti Harian KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) atau Gelora Mahasiswa UGM. Sementara media umum seperti Kompas.
Ø   Radio swasta niaga nyaris tidak ada. Hanya ada RRI yang jangkauannya luas. Namun ada radio komunitas yg dibuat mahasiswa seperti Radio ARH (Arief Rahman Hakim) dari UI dgn jangkauan terbatas.
Masa ini merupakan masa pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Par-Pol. Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai corong partainya. Pada masa itu, pers dikenal sebagai pers partisipan.
E.   Pers Masa Orde Baru
“Awal masa kepemimpinan pemerintahan Orde Baru bahwa akan membuang jauh-jauh praktik demokrasi terpimpin dan mengganti demokrasi Pancasila.”
Pernyataan ini membuat semua tokoh bangsa Indonesia menyambut dengan antusias sehingga lahirlah istilah pers Pancasila.
Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila.
Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD 1945. Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa “indah” antara pers dan pemerintah ketika dipermanis dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Pers (UUPP) Nomor II tahun 1966, yang dijamin tidak ada sensor dan pembredelan, serta penegasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menerbitkan pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit. Kemesraan ini hanya berlangsung kurang lebih delapan tahun karena sejak terjadinya “Peristiwa Malari” (Peristiwa Lima Belas Januari 1974), kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti zaman Orde Lama).
Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikel-artikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor.

F.     Pers Masa Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit.
Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru.
Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Dalam Undang-Undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara (pasal 4). Itulah sebabnya mengapa tidak lagi disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit, yaitu terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran sebagaimana tercantum dalam pasal 4 ayat 2.
Pada masa reformasi, Undang-Undang tentang pers No. 40 1999, maka pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
Ø  Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi.
Ø  Menegakkan nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan.
Ø  Mengembangkan pendapat umum berdasar informasi yang tepat, akurat, dan benar.
Ø  Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Ø  Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan dimintai keterangan pejabat penyidik atau dimintai mnejadi saksi di pengadilan.
G.    Kebebasan Pers Reformasi saat ini
Kebebasan pers sekarang yang dipimpin presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press).
Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil PresidenBoediono, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat.
Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media). Pers harus tanggap terhadap situasi publik, karena ketidakberdayaan publik untuk mengapresiasikan pendapatnya kepada pemimpin pers harus berperan sebagai fasilitator untuk dapat mengapresiasikan apa yang diinginkan.